oleh Prof. Dr Achmad Mubarok MA

Kualitas sholat seseorang diukur dari tingkat kekhusyu’annya. Sholat dapat disebut sebagai zikir manakala orang yang sholat itu menyadari sepenuhnya apa yang dilakukan dan apa yang diucapkan dalam sholatnya, karena zikir itu sendiri adalah kesadaran. Lawan dari zikir adalah lalai, oleh karena itu al Qur’an juga mengingatkan orang yang berzikir (sholat) agar jangan lalai, wala takun min al ghafilin (Q/7:205).

Sholat¬nya orang yang lalai pasti tidak efektif karena tidak komunikatif. Hadis Riwayat Abu Hurairah menyebutkan bahwa betapa banyak orang yang sholat, tetapi tidak memperoleh apa-apa selain lelah
dan capai, Kam min qa imin hazzuhu min sholatihi at ta’abu wa an nasobu. Sholat sebagai zikir bukanlah kata-kata, ruku dan sujud, tetapi dialog, muhawarah dan munajat seorang hamba dengan Alloh
SWTnya. Kunci dari muhawarah dan munajat adalah kehadiran hati, hudur al qalb, dalam sholatnya. Jadi khusyu’ adalah hadirnya hati dalam setiap aktivitas sholat. Makna sholat terletak pada seberapa besar kehadiran hati di dalamnya.

Imam Ghazali dalam Ihya `Ulumuddin menyebut enam makna batin yang dapat menyempurnakan makna sholat, yaitu; (1) kehadiran hati, (2) kefahaman, (3) ta’zim, mengagungkan Allah, (4) segan, haibah, (5) Berharap, roja, dan (6) malu.

Di samping enam hal yang bersifat maknawi, bagi orang awam masih membutuhkan situasi fisik yang kondusif untuk sholat, agar perhatiannya tidak terpecah sehingga hatinya dapat hadir. Bagi orang
yang sudah kuat konsentrasinya, maka lingkungan fisik tidak lagi menjadi stimulus yang mengganggu, apa yang bagi orang awam, sesuatu yang terdengar, yang terlihat, justeru lebih menarik perhatiannya, lupa kepada Alloh SWT yang sedang diajak berbicara. Demikian juga bagi orang yang terlalu banyak problem yang tidak halal, ruang gelap, ruang kosong, menutup mata dan menutup telinga tidak akan membantu mengkonsentrasikan hatinya kepada Alloh SWT, karena dua hal itu merupakan hal yang bertentangan.