Tiga tahun tidak haid, Wanti Kinasih, sebut saja begitu, gundah. Soalnya, ketidakhadiran menstruasi ini bukan sesuatu yang normal, semisal pertanda menopause pada dirinya. Ada sejumlah pertanda mengkhawatirkan yang muncul mengiringi terhentinya siklus kesuburan Wanti.

Ciri kewanitaan pada Wanti perlahan lenyap. Lekuk tubuhnya telah berubah menjadi badan yang tegap kekar. Jerawat membandel berjejal mencari tempat di wajah perempuan berusia 30 tahunan itu. Muka Wanti juga ditumbuhi rambut yang tak bisa dikatakan samar. Kumis dan cambang menodai wajah wanita yang telah tujuh tahun menikah ini.

Ketombe yang bisa memicu kebotakan juga membandel dan membuat Wanti gatal. Kulitnya juga lebih berminyak dari biasanya. Semua ciri ini mengarah pada karakter laki-laki. Kondisi fisik bukan satu-satunya perkara. Temperamen Wanti pun gampang naik turun sehingga sang suami gelisah. ”Selain sering meledak-ledak, Wanti juga terlihat depresi,” keluh sang suami.

Teka-teki Wanti akhirnya terungkap setelah menjalani tes hormon. Dokter kebidanan dan kandungan yang memeriksa mengatakan, kadar hormon laki-laki pada tubuh Wanti tak lazim untuk ukuran wanita. ”Dia mengalami hiperandrogen,” jelas dr Frizar Irmansyah SpOG(K) dari Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.

Indonesia memang tak memiliki data yang valid seputar prevalensi hiperandrogen. Yang jelas, Wanti tak sendiri. ”Berdasarkan pengamatan lapangan, sekitar 10 sampai 20 persen wanita usia subur mengalami hiperandrogen,” cetus Frizar dalam media edukasi bertema: Kontrasepsi Oral vs Hiperandrogen pada Wanita, beberapa waktu lalu.

Penyebab
Hiperandrogen jelas sangat mengganggu kehidupan. Apa penyebabnya? ”Bisa jadi karena kelebihan sekresi hormon androgen, hormon khas pria,” ungkap Frizar. Hormon androgen dihasilkan oleh ovarium alias indung telur dan kelenjar suprarenal di ginjal. Dalam kadar normal, hormon androgen berperan mengatur proses pembentukan estrogen alias hormon reproduksi perempuan. Hormon androgen juga membantu mempertahankan gairah seks (libido) serta rasa nyaman.

Ada kalanya, bukan produksi hormon androgen yang menjadi penyebab. Hiperandrogen bisa saja terjadi lantaran lemahnya protein pengikat hormon. ”Akibatnya, hormon androgen lolos ke peredaran darah,” konsultan fertilitas dan endokrinologi reproduksi ini. Hiperandrogen pun dapat tercetus akibat peningkatan aktivitas enzim 5 alfa-reductase di target organ. Sensitivitas organ dalam mengikat hormon androgen juga berpengaruh. ”Penyebab lainnya, pemberian hormon androgen dari luar tubuh.”

Gaya hidup disinyalir berperan pula dalam kasus hiperandrogen pada wanita. Kurang gerak, banyak makan, dan stres dapat menghasilkan timbunan lemak di tubuh. ”Keberadaan tumpukan lemak akan meningkatkan produksi hormon estrogen yang bisa mengganggu haid. Nah, saat haid terganggu dalam waktu yang lama, keseimbangan hormon ikut terusik. Hormon androgen lantas membludak,” urai Frizar yang membantu Wanti mendapatkan kembali siklus haid dan ciri kewanitaannya dalam waktu kurang dari setahun.

Pemulihan
Manifestasi hiperandrogen akan berbeda pada tiap wanita. Ada yang terpengaruh di hampir semua organ. ”Ada pula yang tak begitu kentara, sebatas kegemukan, ketombean, botak, dan jerawatan,” ucap Frizar, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gejala hiperandrogen juga terlihat dari adanya poly-cystic-ovarian-syndrome (PCOS). Sindrom ini terlihat dari adanya gangguan siklus menstruasi, anovulasi, dan obesitas. ”Ditunjukkan pula oleh abnormalitas metabolisme tubuh, retensi insulin, profil lemak yang tidak normal, serta peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler.”

Bagaimana kondisi terparah kasus hiperandrogen? Sebagian mengalami pertumbuhan bulu berlebihan di atas bibir, dagu, dan dada. Lainnya, terkena gejala virilisasi yakni bentuk badan menjadi lebih maskulin. Ada pula yang diikuti dengan membesarnya suara. Dampak lain dari hiperandrogen pada wanita tak kalah mengganggu. Ia bisa saja mengalami hipertrofi atau pembesaran klitoris, bagian yang paling sensitif pada wanita. Ada pula yang payudaranya mengecil, menyusul rendahnya kadar hormon estrogen pada tubuhnya.

Memulihkan tubuh yang tergganggu oleh ketidakstabilan hormon tentu butuh waktu. Seberapa lama? ”Tiap pasien memerlukan waktu yang berbeda, sesuai dengan derajat keparahannya,” ucap dokter yang pada 1997-1999 bertugas di RSUD Dili, Timor Timur ini. Dokter terkadang memerlukan kerja sama dengan tenaga medis lainnya untuk membantu pengidap hiperandrogen kembali kepada kewanitaannya.

Untuk yang mengalami dampak hiperandrogen berupa kegemukan, saran dari ahli gizi tentu diperlukan. ”Kalau pasiennya telanjur depresi, manajemen stres harus diajarkan.” Meski sangat mengganggu, hiperandrogen bisa disembuhkan. Pengidapnya dapat sembuh total dan kembali menikmati hidup sebagai wanita tulen. ”Terlebih, sekarang ada obat antiandrogen yang mudah didapat.”

rei
( )
http://republika.co.id/koran.asp?kat_id=123