Fariduddin Attar lahir di Nishapur, dekat Iran, sekitar tahun 1142. Sewaktu kecil, Attar belajar ilmu Kedokteran, Bahasa Arab, dan Theosophy di sebuah madrasah di Mashad. Menurut bukunya sendiri, Mosibat-namah (Buku Kemalangan), ketika muda, Attar bekerja di apotik ayahnya.

Di sana dia meracik obat dan merawat pasien yang datang. Setelah ayahnya wafat, dialah yang mewarisi toko obat itu. Attar juga dikenal sebagai saudagar parfum atau minyak wangi yang kaya raya. Dari kata parfum inilah, nama Attar didapatnya.

Ada sebuah peristiwa besar yang membuat kehidupannya berubah. Pada suatu hari ketika di toko minyak wanginya yang besar datang seorang fakir tua renta yang tak berduit satu sen pun. Melihat fakir yang dikiranya akan mengemis itu Attar segera bangkit dari tempat duduknya, menghardik dan mengusirnya agar pergi meninggalkan tokonya. Dengan tenang fakir itu menjawab, “Jangankan meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahannya ini bagiku tidak sukar! Tetapi bagaimana dengan dirimu? Dapatkah kau meninggalkan kekayaanmu, tokomu dan dunia ini?”

Attar tersentak, lalu menjawab spontan, “Bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini!”

Sebelum Attar selesai menjawab, fakir tua renta itu rebah dan meninggal seketika. Dalam riwayat lain diceritakan, fakir tua itu yang pertama kali menjawab, “Dapatkah kau tentukan kapan kau meninggal dunia?” “Tidak,” jawab Attar kebingungan. “Aku dapat,” ucap kakek tua itu, “saksikan di hadapanmu bahwa aku akan mati sekarang juga.” Saat itu juga lelaki renta itu terjatuh dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Attar terperanjat. Peristiwa itu begitu mendalam dihayatinya. Sehari kemudian, setelah menguburkan fakir itu selayaknya, Attar menyerahkan penjagaan toko-tokonya yang banyak di Nishapur kepada sanak-saudaranya, lantas berguru ke Syaikh Ruknuddin Akkah dari madzhab Kubrawiyyah.

Setelah bertahun-tahun berguru dan menjadi sufi yang kreatif, dia mengembara sendirian tanpa membawa uang satu peser pun menuju Mekkah melewati Kufah, Mekkah, Damaskus, Turkistan, dan India

Setelah merasa cukup berpetualang, dalam usia 35 tahun, Attar pulang ke Nishapur dan kembali membuka tokonya sambil memberikan latihan-latihan ruhiyah dan membuka sejumlah sekolah. Kekayaannya semakin bertambah-tambah, demikian pula kemasyhurannya sebagai seorang sufi.

Yang menarik, Attar pernah didatangi seorang anak kecil berusia 5 tahun. Attar meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset. Anak kecil itu bernama Jalaluddin Rumi.

Attar wafat sekitar tahun 1221, ketika tentara Jenghis Khan datang menduduki Persia. Attar tua ikut tertangkap. Salah satu serdadu Mongol berkata, “Jangan bunuh si tua bangka ini. Saya akan bayar seribu keping uang perak sebagai penggantinya”. Attar mengatakan bawa harganya lebih dari itu. Lalu muncul seorang Mongol menawarkan sejumlah jerami. “Tukarkan saya dengan jerami itu,” kata Attar, “sebab memang seharga itulah diri saya.” Serdadu yang membawa uang perak naik pitam dan langsung memenggal Attar. Attar pun wafat sambil mengucapkan dua kalimat syahadat. Makamnya di Shadyakh hingga kini banyak dikunjungi penziarah.

Karya

Salah satu kepandaian Attar yang telah lama dikenal penduduk Nisyapur ialah kemahirannya bercerita. Ia sering melayani pasien-pasien dan pelanggannya dengan bercerita sehingga memikat perha­tian mereka. Apabila sedang tidak ada pelanggan datang, dia pun menulis cerita. Semua karyanya itu ditulis dalam bentuk prosa-puisi yang indah, kaya dengan hikmah dan kisah-kisah perumpamaan yang menarik.

Di antara karya Attar yang terkenal ialah ’Tadzikrat al-Awlia (Warisan Para Awliya) yang berisi ucapan para sufi, sebuah tradisi budaya Persia yang juga dianut oleh Rumi (Matsnawi-e Ma’naw) dan Sa’di Syairazi (Gulistan). Inilah buku satu-satunya yang berbentuk prosa.

Buku puisinya, Asrar Namah (Buku tentang Rahasia), berkisah tentang keluarga Maulana Jalaluddin Rumi yang singgah di Nishapur ketika hendak ke Konya. Sedangkan ’Ilahi Namah’(Buku Ketuhanan), berkisah tentang Zuhud. Beberapa buku lainnya antara lain Musibat-namah (Kitab Kemalangan), Kitab Syarhul Qalb’ (Penjelasan mengenai Kalbu), Kitab Kasyful Asrar (Pembuka Diri), dan Kitab Ma’rifatun war Rabb (Pengetahuan mengenai Diri dan Tuhan).

Tetapi yang paling terkenal adalah Manthiqut Thayr, yang di dalamnya mengisahkan tentang perjuangan para burung untuk mencari sosok Simurgh. Buku itu kental dengan alegori dan simbol-simbol dari dunia fabel, sesuatu yang juga dipakai oleh Ikhwanus Safa.

Dalam buku ini, Attar menggambarkan bahwa jalan kerohanian dalam ilmu tasawuf ditempuh melalui tujuh lembah (wadi), yaitu: lembah pencarian (talab), cinta (‘isyq), makrifat (ma‘rifah), kepuasan hati (istighna), keesaan (tawhid), ketakjuban (hayrat), kefakiran (faqr) dan hapus (fana‘). Namun Attar menganggap bahwa secara keseluruhan, jalan tasawuf itu sebenarnya merupakan jalan cinta, dan keadaan-keadaan rohani yang jumlahnya tujuh itu tidak lain adalah keadaan-keadaan yang bertalian dengan cinta.

Demikianlah Attar, Sufi yang penyair. Dihiasi dirinya dengan semangat ruhiyah mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya itu, dirinya pun menebarkan keharuman kebenaran, lewat karya-karyanya yang hingga kini masih bisa kita nikmati.•

Ekky Al-Malaky, Komunitas Budaya Musyawarah Burung