Slamet masuk ke toko obat dan membeli sebiji kondom. Dengan riang dia
bilang kepada pemilik toko bahwa sebentar lagi dia akan makan malam di
rumah pacarnya. “Bapak kan tahu sendiri, biasanya setelah itu kan ada
kelanjutannya”, katanya sambil menyeringai.
Kondom pun berpindah tangan.

Baru beberapa langkah ke luar toko, dia kembali masuk. “Saya minta satu
lagi”, katanya. “Adik pacar saya juga cantik. Agak genit pula.
Saya rasa dia juga naksir saya. Siapa tahu malam ini saya mujur…”.
Kondom kedua berpindah tangan.

Slamet kembali masuk dan minta tambahan satu kondom lagi. “Begini,
ibunya juga tak kalah seksi. Penampilannya jauh lebih muda dari usianya. Dan
kalau duduk di depan saya, dia selalu menyilangkan kaki. Saya yakin dia
juga tak keberatan kalau saya dekati…”.

Dengan berbekal tiga kondom, Slamet datang ke rumah pacarnya sambil tak
putus bersiul. Sajian sudah siap. Pacar Slamet, adik dan ibunya sudah
menunggu. Slamet pun langsung bergabung. Mereka menunggu sang ayah.

Begitu sang ayah masuk ke ruang makan, Slamet langsung memimpin doa
sambil menunduk dalam-dalam. Yang lain-lain ikut menundukkan kepala.

Satu menit berlalu. Slamet makin khusuk berdoa. Dua menit. Slamet terus
komat-kamit — cukup panjang untuk sebuah doa sebelum makan.

Pada menit keempat, pacarnya menyenggol kakinya dan berbisik, “Saya
baru tahu kamu ternyata sangat religius”.

Sambil terus menunduk, Slamet menjawab dengan suara hampir menangis:
“Saya juga baru tahu ayah kamu ternyata pemilik toko obat….”