NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM TIDAK PERNAH SHALAT TARAWIH
MELEBIHI SEBELAS RAKA'AT

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Setelah kita menetapkan, disyariatkannya berjama'ah dalam shalat tarawih berdasarkan ketetapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, perbuatan beliau dan juga anjurannya ; Maka sudah seharusnya kami jelaskan juga beberapa jumlah raka'at yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam-malam yang beliau hidupkan bersama para sahabat. Dan perlu diketahui, bahwa dalam hal ini kami memiliki dua dalil.

Yang Pertama :
Dari Abi Salamah bin Abdir-Rahman, bahwasanya ia pernah bertanya kepada 'Aisyah Radhiallahu 'anha tentang bagaimana shalat Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam di bulan Ramadhan ? Beliau menjawab : "Baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam melebihi sebelas raka'at[1] . Beliau shalat empat raka'at[2] ; jangan tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi
empat raka'at, jangan juga tanya soal bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka'at.

Hadits tersebut diatas, diriwayatkan oleh Al-Bukhari (III : 25, IV : 205), Muslim (II : 166), Abu 'Uwanah (II : 327), Abu Dawud (I : 210), At-Tirmidzi (II : 302-303 cetakan Ahmad Syakir), An-Nasa'i (I : 248), Malik (I : 134), Al-Baihaqi (II : 495-496) dan Ahmad VI : 36,73, 104).

Yang Kedua :
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu 'anhu bahwa beliau menuturkan : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak delapan raka'at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kamipun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau disitu hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami". Beliau menjawab : "Sesungguhnya aku khawatir kalau (akhirnya) shalat itu menjadi wajib atas dirimu". [Diriwayatkan oleh Ibnu Nashar (hal 90), Ath-Thabrani dalam "Al-Mu'jamu Ash-Shagir" (hal 108). Dengan hadits yang sebelumnya, derajatnya hadist ini hasan. Dalam "Fathul Bari" demikian juga dalam "At-Talkhish" Al-Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan bahwa hadits itu shahih, Namun beliau menyandarkan hadits itu kepada Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah masing-masing dalam Shahih-nya].
Hadits Tarawih Dua Puluh Raka'at Dha'if Sekali dan Tidak Dapat Dijadikan Hujjah Untuk Beramal

Dalam "Fathul Bari" (IV : 205-206) Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits yang pertama, beliau menyatakan : "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan dua puluh raka'at ditambah witir, sanad hadist ini adalah dha'if. Hadits 'Aisyah yang disebut dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim ini juga bertentangan dengan hadits itu, padahal 'Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk beluk kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya". Pendapat serupa juga telah lebih dahulu diungkapkan oleh Az-Zailai' dalam "Nashbu ar-Rayah" (II : 153).

Kemudian, setelah beliau menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban, Imam As-Suyuthi berkomentar : "Kesimpulannya, riwayat tarawih 20 raka'at itu tak ada yang shahih dari perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang tersebut dalam riwayat Ibnu
Hibban merupakan klimaks apa yang menjadi pendapat kami, karena (sebelumnya) kami telah berpegang dengan apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari 'Aisyah Radhiallahu 'anha, yaitu : Bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam baik dalam bulan Ramadhan maupun dalam
bulan lainnya tak pernah shalat malam melebihi 11 raka'at.
Kedua hadits itu (Hadits Riwayat Ibnu Hibban dan Al-Bukhari) selaras, karena disebutkan disitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat delapan raka'at, lalu menutupnya dengan witir tiga raka'at, sehingga berjumlah 11 raka'at. Satu hal lagi yang menjadi dalil, bahwa Nabi apabila mengamalkan satu amalan, beliau selalu melestarikannya. Sebagaimana beliau selalu meng-qadha shalat sunnah
Dhuhur sesudah Ashar ; padahal shalat waktu itu pada asalnya haram. Seandainya beliau telah mengamalkan shalat tarawih 20 raka'at itu, tentu beliau akan mengulanginya. Kalau sudah begitu, tak mungkin 'Aisyah tidak mengetahui hal itu, sehingga ia membuat pernyataan seperti tersebut tadi".

Saya mengatakan : "Ucapannya itu mengandung isyarat yang kuat bahwa beliau lebih memilih sebelas raka'at dan menolak riwayat yang 20 raka'at dari Ibnu Abbas karena terlalu lemah, coba renungkan".

[Disalin dari buku Shalatu At-Tarawih, edisi Indonesia Shalat Tarawih, Penyusun Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tibyan hal. 28 - 36 Penerjemah Abu Umar Basyir Al-Maidani]