Sebagai manusia, di dalam diriku dan dirimu selalu bersemayam sebuah naluri yang sering membuatku malu.
Naluri yang menjadi ukuran seberapa jauh watakku dan watakmu di hadapan pergaulan, atau lebih tepat di depan kejujuran dan ketulusan. Bersikap jujur itu, temanku, sungguh bukan barang mudah apalagi tulus.

Berulangkali aku jatuh bangun di hadapan ujian kejujuran ini dan tak terhitung lagi jatuh bangunku di depan ujian ketulusanku. Karena meskipun aku mengenalmu, ada saja lagakku untuk pura-pura tidak melihatmu, apalagi menyapamu jika kebetuan bertemu. Ada bermacam-macam alasan yang membuat aku pura-pura itu. Di mall-mall, di kerumunan keramaian, atau saat berpapasan di jalanan, ada kalanya aku lebih memilih pura-pura tak melihatmu, apalagi menyapamu. Aku yakin begitu juga kamu.

Mari kita tidak saling gengsi untuk mengaku. Ada kalanya dorongan ini manusiawi sekali. Tidak setiap kali kita siap untuk bertemu ketika tengah tidak tepat waktu. Karena pertemuan itu, betapapun singkatnya, selalu ada ongkosnya.
Basa-basi terutama. Tapi basa-basi ini pasti bukan soal remeh.

Di restoran-restoran, tempat kita sedang ingin tenang besama keluarga, tiba-tiba aku juga melihatmu beserta keluargamu, masuk di tempat yang sama pula. Betapa repotnya, karena tiba-tiba kita harus terlibat ramah-tamah yang celaka.

Jika kita cukup tega, kita akan bertegur sapa secukupnya.
Tapi jika kita adalah pengabdi kesopanan tingkat tinggi, kita sama-sama akan menarik kursi, mendekatkan dua keluarga, untuk sok saling menyambung tali persahabatan sambil berebut mentraktir pula. Kita begini penuh kemuliaan, sambil diam-diam tertekan oleh keadaan yang serba tak terduga ini.

Maka sambil makan pun, kita sibuk pamer kemuliaan ini terus menerus. Menyuruh siapa saja menambah menu sesukanya. Kita lakukan ini dengan percaya diri karena di akhir makan nanti, kita telah bertekat menjadi bos dari perhelatan ini. Pendek kata, duit, di saat adu gengsi semacam ini menjadi tak penting lagi. Betapapun banyak menu makananmu, betapapun nakal anakmu dalam perjamuan itu, aku akan tersenyum bijak dan malah memintamu sabar jika engkau ingin menghardiknya demi menjaga perasaanku.

Apakah aku orang yang sabar? Oo tidak. Di rumah, jika anakku sendiri yang melakukan kenakalan semacam itu sudah pasti sudah kugampar kepalanya. Di rumah, aku adalah orang yang gampang murka dan barangkali malah kikir. Jika anakku meminta sesuatu yang berlebih dan kuanggap boros, ia akan langsung berhadapan dengan kemarahanku. Di depan hak milikku sendiri ketika aku sudah tidak perlu main gengsi-gengsian lagi, keluarlah watak asliku.

Jadi beginilah beratnya berbasi-basi itu temanku. Ia begitu membutuhkan tumbal, salah satu, dan ini yang terberat ialah bisa mendorongku keluar dari watak asliku untuk melakukan mimikri. Dan aku takut jika mimikri ini hanya berupa hiprokisi, ini bahasa intelektualnya, muna.
Itu bahasa anak muda dan munafik begitulah bahasa agamanya.

Maka, temanku, ketika di tempat-tempat umum, di balik kerumunan-kerumunan seminar, di dalam mall-mall dan di tempat-tempat umum, ketika kita mestinya saling tahu, kita lebih suka memilih untuk tidak saling melihat apalagi saling bertemu. Sebuah kepura-puraan yang sebetulnya juga menyiksa hatiku. Karena mestinya kita saling merasa bahwa kita sedang sama-sama berpura-pura. Padahal menjadi penghamba pura-pura ini juga bukan sesuatu yang membanggakan hatiku.

Mala mulai hari ini, temanku, jika kebetulan aku melihatmu dan kau pura-pura tak melihatku ,aku akan tetap bertekat menyapamu. Kupikir ini baik untuk latihanku menghindar dari watak pura-pura ini. Kupikir ini juga baik untuk berlatih menyapamu tanpa takut dijajah rasa basa-basiku.
Terhindar dari dua kutukan itu sungguh merupakan cita-citaku. (Prie GS/CN07)