Belum ada bukti penelitian yang menunjukkan kualitas dan kuantitas ASI berkurang atau berat badan bayi menurun bila ibu menyusui sedang puasa.

Belum ada bukti penelitian yang menunjukkan kualitas dan kuantitas ASI berkurang atau berat badan bayi menurun bila ibu menyusui sedang puasa.

Memasuki bulan Ramadan, semua umat Muslim di dunia pasti bersuka ria menyambut bulan penuh barokah itu. Namun, bagi sebagian ibu yang sedang menyusui bayinya sering cemas dan waswas. Apakah nantinya bila berpuasa bayinya, tidak akan kurang air susu ibu (ASI)?

Puasa Ramadan hukumnya wajib bagi setiap muslim, termasuk juga ibu hamil dan menyusui. Meskipun demikian, Islam memberikan kelonggaran bagi ibu hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa dengan berpuasa di lain waktu atau membayar fidyah. Untuk memutuskan puasa atau tidak demi kepentingan bayi, para ibu yang sedang menyusui harus mengetahui permasalahan kondisi biologis dan psikologis ibu supaya bayi tidak terkorbankan.

Beberapa penelitian menyebutkan, sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang mencolok saat berpuasa dibandingkan saat tidak berpuasa. Puasa saat puasa Ramadan tidak mempengaruhi secara drastis metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein.

Meskipun terjadi peningkatan serum uria dan asam urat sering terjadi saat terjadi dehidrasi ringan saat puasa. Berbeda dengan puasa biasa, dalam puasa Ramadan terjadi keseimbangan anabolisme dan katabolisme yang berakibat asam amino dan berbagai zat lainnya membantu peremajaan sel dan komponennya memproduksi glukosa darah dan menyuplai asam amino dalam darah sepanjang hari.

Cadangan protein yang cukup dalam hati karena asupan nutrisi saat buka dan sahur akan tetap dapat menciptakan kondisi tubuh untuk terus memproduksi protein esensial lainnya, seperti albumin, globulin, dan fibrinogen. Dalam keadaan puasa Ramadan fungsi hati masih aktif baik beredar pada kondisi kelaparan biasa.

Dalam puasa asam amino teroksidasi dengan pelan dan zat keton tidak meningkat dalam darah sehingga tidak akan mengakibatkan pengasamaan dalam darah. Dalam penelitian saat puasa tidak berpengaruh pada sel darah manusia. Tidak terdapat perbedaan jumlah retikulosit, volume sel darah merah, rata-rata konsentrasi hemoglobin (MCH, MCHC) dibandingkan dengan orang yang tidak berpuasa.

Terdapat sebuah penelitian puasa pada ibu hamil, ibu menyusui, dan kelompok tidak hamil dan tidak menyusui di perkampungan Afrika Barat. Ternyata dalam penelitian tersebut disimpulkan tidak terdapat perbedaan kadar glukosa serum, asam lemak bebas, trigliserol, keton, beta hidroksi butirat, alanin, insulin, glucagon, dan hormon tiroksin.

Sedangkan, pada penelitian hormon wanita tidak terjadi gangguan pada hormon virgisteron saat melaksanakan puasa. Tetapi, 80 % populasi penelitian menunjukkan penurunan hormon prolaktin.

Penurunan hormon prolaktin ini mungkin harus diwaspadai pada ibu yang sedang menyusui. Tetapi, belum ada bukti penelitian yang menunjukkan kualitas dan kuantitas ASI berkurang atau berat badan bayi menurun bila ibu menyusui sedang puasa.

Memutuskan Puasa

Melihat berbagai kondisi tersebut di atas maka kecermatan ibu dalam menentukan perlu tidak puasa sangat diperlukan. Pada keadaan ibu yang sedang memberikan ASI ekslusif sebelum bayi berusia 6 bulan, harus dipertimbangkan secara ketat.

Karena konsumsi ASI adalah jenis makanan tunggal yang dikonsumsi, tidak ada salahnya kalau ibu menunda puasa. Kalaupun ibu akan bersikeras melakukan puasa, harus melakukan konsultasi lebih sering dengan dokter anak yang merawat untuk pemantauan kesehatan bayi.

Apabila dalam observasi ketat setiap minggu dokter dapat mengevaluasi bahwa jumlah ASI tidak terganggu dan bayi tidak terpengaruh pertumbuhannya, bisa saja ibu terus berpuasa. Keadaan lain yang perlu kecermatan adalah bila ibu menyusui yang mempunyai aktivitas fisik yang tinggi, ibu dengan gizi buruk, mengalami gangguan ginjal, diabetes, atau penyakit kronis lainnya sebaiknya juga mempertimbangkan untuk menunda puasa.

Jika ibu menyusui tidak melakukan ibadah puasa karena mengkhawatirkan kesehatan dirinya, dia menganggap dirinya seperti orang sakit, sehingga cara mengganti puasa sama dengan mengganti puasa di kala orang sakit, yaitu dengan berpuasa pada hari lain. Namun, jika mengkhawatirkan bayinya, dianggap seperti orangtua yang tak punya kemampuan sehingga cara menggantinya selain membayar puasa seperti cara orang tua, yaitu dengan membayar fidyah.

Melihat berbagai keadaan dan kondisi saat puasa yang tidak menganggu metabolisme tubuh, secara umum berpuasa saat menyusui tidak masalah. Untuk mencapai hasil yang optimal mungkin ibu menyusui yang sedang berpuasa sangat penting untuk tetap mempertahankan pola makan dengan kualitas dan kuantitas seperti saat tidak berpuasa. Kalau perlu dengan melakukan penjadwalan makan tiga kali per hari, yaitu saat sahur, ketika berbuka puasa, dan menjelang tidur sesudah salat Tarawih. Demikian pula untuk kebutuhan cairan, kalori, mineral, dan vitamin harus tidak berbeda dengan saat tidak puasa.

Jumlah konsumsi cairan sebaiknya didapatkan sekitar dua liter per hari. Jenis asupan cairan bisa meliputi teh manis, jus buah, air madu, kolak, air kacang hijau, susu, atau sebagian air putih. Asupan makanan yang lengkap dan seimbang harus cermat dilakukan. Pemberian asupan suplemen vitamin dan mineral tambahan terutama zat besi, bisa saja dilakukan bila disadari aktivitas meningkat, sedangkan konsumsi nutrisi dirasakan berkurang.

Dalam keadaan tertentu seperti bayi di bawah usia 1 tahun, saat awal puasa dan separuh perjalanan puasa, sebaiknya ibu melakukan evaluasi kesehatan bayi kepada dokter untuk memastikan kecukupan gizi bayi. Pemberian ASI harus lebih sering, karena semakin sering payudara diisap oleh bayi, produksi ASI akan semakin banyak.

Sumber: Suara Pembaruan
Oleh Widodo Judarwanto
Penulis adalah dokter di RS Bunda, Jakarta.