Pak Haji Anung sudah dua minggu tak bisa bangun. Dari cerita bisik-bisik tetangga, doi terjangkit flu burung. Barangkali merasa ajal sudah dekat (panik), kemarin anak-anaknya diminta berkumpul untuk mendengar ‘wasiatnya’.

“Anak-anak… Bapak kayaknya akan segera pergi jauh (semua orang di ruangan tertunduk sedih, bahkan anak yang tertua tak bisa menahan emosi. Dia terisak-isak). Begini anak-anak, sebelum bapak pergi jauh, bapak ingin sampaikan…sesuatu yang penting…buat hidup kalian…masing-masing,” Pak haji Anung bicara sedikit terbata-bata, barangkali karena gangguan pernapasan.

“Anak-anak…jangan kalian jual tanah yang di Empang Tiga Pasar Minggu…
Anak-anak…Jangan kalian jual tanah yang di Depok…
Anak-anak…jangan kalian obral tanah yang di Cinere…
Anak-anak…jangan kalian jual tanah yang di Rimba Buntu, Kiray Blok M…”

“Sudahkah kalian paham, semua yang bapak utarakan tadi?” (Semua yang ada di ruangan terdiam dengan air muka bengong setengah bego)

“Semoga kalian tidak berantem gara-gara harta tanah ya… Jaga tali persaudaraan jangan putus, cuma gara-gara harta duniawi…

Karena tanah yang bapak sebut tadi jelas-jelas bukan punya bapak. Tanah itu jelas-jelas punya orang… Makanya jelas-jelas tidak bisa kalian jual…

Paham?…Paham?..Pa..ha..mmmm,” Pak haji pun menghembuskan nafas terakhir dengan senyum. Semua sanak saudara di ruangan itu pun menangis sambil tertawa.