Impulse

SETIAP kali berbelanja ke sebuah pasar swalayan, Anda barangkali tak sengaja selalu membeli produk yang dipajang dekat meja kasir. Entah itu permen atau baterai. Biasanya tanpa terencana, hanya berdasarkan impulse. Area dekat meja kasir memang disebut impulse bar. Wilayah itu ditujukan untuk merangsang konsumen berbelanja produk-produk kecil secara seketika.

Belum lama ini, di sebuah toko buku di Bandar Udara (Bandara) Changi, Singapura, saya melihat sesuatu yang kecil namun unik. Di dekat meja kasir disediakan pena bagi konsumen untuk membubuhkan tanda tangannya, tiap kali transaksi dengan kartu kredit. Yang membuat saya terkesiap, pena yang sering digunakan adalah jenis baru di pasaran.

Selidik punya selidik, ternyata perusahaan pena menggunakan loket kasir itu sebagai titik merangsang daya beli konsumen. Cara kecil ini cukup cerdik. Saya dua kali membeli pena baru secara tiba-tiba, gara-gara ketika saya coba di kasir itu, terasa enak menulisnya. Teknik menjual secara impulsif bukanlah hal baru. Restoran kecil senantiasa menyuguhkan kerupuk dan emping di meja kita, yang “tanpa sengaja” kita santap ketika pesanan tengah dimasak atau dihidangkan. Di warung pinggir jalan, buah pisang dipajang di meja sebagai produk “dadakan” yang kita makan untuk pencuci mulut.

Teknik sederhana ini kelihatannya kuno, namun efektif. Juga murah dan tak perlu teknologi tinggi. Anda hanya perlu mencari titik pertemuan antara konsumen dan produk yang paling impulsif. Hasilnya dijamin “jreng”, manjur. Seorang teman, yang baru saja dari Bali, membeberkan analisisnya yang unik. Ketika pergi dari Jakarta, tanpa disadari ia berbelanja sejumlah produk secara impulsif. Pertama di Bandar Udara Cengkareng, sebelah barat Jakarta. Ia belanja Dunkin Donuts dan majalah. Dunkin Donuts untuk oleh-oleh yang ia lupa bawa. Majalah untuk menemani ketika menunggu pesawat.

Di pesawat, ia membeli sebotol minyak wangi karena lupa membawa dari Jakarta. Saat di Bali, ia membeli beberapa T-shirt secara impulsif, yang hingga hari ini belum satu pun dipakainya. Di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, lagi-lagi ia membeli salak bali, untuk oleh-oleh yang di Jakarta. Sambil tertawa-tawa, teman saya menjelaskan, teknik impulsif ini benar-benar jitu.

Saya setuju terhadap pendapat itu. Toko-toko di airport adalah contoh yang penuh dengan produk impulsif. Para peretail juga makin cerdas merancang titik-titik rawan yang mampu “menjebak” konsumen. Bayangkan saja, Anda berada di sebuah ruangan penuh sesak, dan ingin menarik perhatian sejumlah orang. Anda harus mampu merekayasa momentum tertentu. Satu di antara maestro teknik ini adalah perusahaan kue donat Krispy Kreme di Amerika.

Kue donat bertahun-tahun menjadi produk generik. Namun, Krispy Kreme mampu menciptakan sensasi baru. Tak jarang 3.000 orang antre di depan toko baru Krispy Kreme. Rahasianya? Krispy Kreme menciptakan sebuah magnet impulsif yang masif di dalam tokonya. Mereka menyebutnya retail theatre: bagian produksinya diberi kaca tembus, sehingga konsumen yang datang bisa menonton bagaimana donat diadon, dicetak, digoreng, hingga akhirnya masuk toko. Tontonan ini menciptakan sensasi baru. Ini menggugah konsumen, membuat mereka impulsif membeli donat Krispy Kreme.

Proses retail theatre tadi menjadi sebuah rekayasa pengalaman konsumen baru yang berbeda. Krispy Kreme kini menjadi jaringan toko kue donat paling agresif di Amerika. Dalam waktu singkat, jaringannya tumbuh menjadi 200 toko di seluruh Amerika. Tiga tahun lalu, ketika pertama kali mengunjungi toko donat ini, saya batal makan. Antreannya panjang sekali.

Saya baru berhasil makan kue donat itu setahun kemudian. Itu pun karena saya datang sekitar pukul delapan malam, ketika pengunjung mulai surut. Merancang titik impulsif adalah cara terbaik menarik perhatian konsumen.

[Kafi Kurnia, peka@indo.net.id]