“Manusia adalah mahluk sosial,”demikian kata ahli ilmu sosial. “Takdir” semacam itu jelas tak bisa dipungkiri lagi, sebab dalam kenyataanya manusia memang manusia tak bisa hidup terpisah atau terasing, bahkan sebaliknya, ia memiliki ketergantungan yang begitu tinggi terhadap lingkungan sosialnya. Dalam kehidupan bersama, setiap orang punya beragam keperluan dan kepentingan masing-masingnya berbeda.

Pada titik inilah dibutuhkan beragam kepentingan atau norma-norma tertentu. kalau tidak bayngkan apa yang terjadi! Antara satu dengan yang lainya tak mau mengalah. Akibatnya (baik antar pribadi, antar suku, antar bangsa, dan antar lainnya) akan mudah tersulut.

Pemberlakuan sistem norma dan aturan bertujuan antara lain sebagai sarana perekat dan penguat bangunan kehidupan bersama. Jika suatu masyarakat merasakan kesatuan dan persatuan maka sudah pasti kehidupan ini akan terasa lebih indah, tentram, serta damai.

Satu kewajiban mendasar yang dipenuhi oleh setiap orang ketika hendak menjalin hubungan dengan sesamanya ialah: adanya kesiapan jiwa untuk memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT. berfirman, “Yaitu orang-orang yang senantiasa menafkahkan hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memberi maaf atas kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 134)

Apa yang termaktub dalam ayat tersebut memang sungguh luar biasa. Kita tidak menjumpai kata “maminta maaf” malainkan wal’aafiina aninnas (memberi maaf kepada sesama manusia). Memang pada kenyataanya, acapkali kita mejumpai orang yang amat mudah meminta maaf, namun sangat jarang menemukan yang mau memberi maaf.

Orang yang senantiasa memberi maaf akan merasakan ketenangan bathin yaang sedemikian indah. bagaimana potensi rohaniah menjadi begitu bertenaga sehingga sanggup membebaskan diri dari cengkraman hawa nafsu. Memaafkan kesalahan orang lain memang bukan pekerjaan yang ringan. lebih-lebih bagi mereka yang watak dan karakternya telah dikuasi sedemikian rupa oleh kebencian, kekerasan dan dendam.
Selain berpengaruh ada jiwa si pemberi maaf tadi, sifat pemaaf juga akan berpengaruh kuat kepada orang yang dimaafkan, sampai-sampai mampu berubah pikiran serta perilakunya. Kebencian dan permusuhan yang telah berakar sangat dalam berubah menjandi persahabatan dan persaudaraan yang tulus.

Sayyid Musawi Lari dalam bukunya, Psikolog islam mengatakan, “Bakat terbesar manusia yang tidak dimiliki hewan adalah sifat pemaaf dan melupakan kesalahan orang lain. ketika kita dirugikan orang lain, kita memiliki kesempatan yang baik untuk memaafkan dan menikmati perasaan batin atas sifat yang mulia ini.”

Melakukan tindakan balas dendam terhadap lawan akan menempatkan diri pada tempat yang sama pada musuh, karena telah melakukan hal yang sama denganya. Menghadirkan sifat pemaaf dapat meredam gejolak amarah dalam dada yang selanjutnya akan membentuk diri meraih sifat rendah hati yang mulia. Adalah wajib bagi kita untuk bersikap baik ketika orang lain melanggar, karena kebaikan merupakan kebajikan surgawi, yang dengan itu alam semesta dan para penhuninya dapat hidup dengan penuh kedamaian dan keharmonisan.

Wallahu A’lam