Akibat minimnya fasilitas, pelayanan kesehatan di beberapa rumah sakit tidak maksimal. Kerap kali pasien dirawat di tenda, karena ruang perawatan terbatas. SP/ALEX SUBAN

Kondisi fasilitas dan sumber daya manusia Indonesia di bidang kesehatan sudah masuk dalam kondisi darurat. Jika kondisi seperti saat ini dibiarkan tanpa ada perubahan yang signifikan, Indonesia diyakini tidak akan mampu bersaing jika pasar bebas mulai diberlakukan.

Anggota Komisi X DPR, Dr dr Sudigdo Adi SpKK, saat diskusi kesehatan di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), di Jakarta belum lama ini mengatakan, untuk menanggulangi kondisi darurat ini semua pihak Pemerintah, DPR, organisasi profesional, dan masyarakat harus bekerja sama.

Dijelaskan, kondisi fasilitas kesehatan baik seperti rumah sakit, puskesmas, dan klinik kesehatan lainnya seperti di Jakarta terutama di daerah yang masih jauh dari standar internasional.

Demikian pula jumlah tenaga ahli seperti dokter yang masih sangat kurang. Saat ini, jumlah dokter di Indonesia baru sekitar 75.000 orang yang harus melayani 220 juta penduduk Indonesia.

“Saya minta jumlah dokter diperbanyak secepatnya. Kalau harus memilih antara kualitas atau kuantitas, saya pilih kuantitas. Kalau dokternya sudah ada, baru kita bisa bicara peningkatan kualitas,” ujar Sudigdo.

Untuk dapat mencetak dokter yang banyak, kata Sudigdo, salah satu faktor yang harus dipecahlan adalah mahalnya biaya pendidikan dokter. “Untuk menjadi dokter spesialis butuh dana sekitar Rp 2 miliar. Siapa yang bisa tanggung? Harus ada solusi untuk hal-hal seperti ini,” ujarnya.

Dia juga meminta agar jumlah rumah sakit yang masuk dalam kategori rumah sakit pendidikan (teaching hospital) diperbanyak, baik itu negeri maupun swasta.

Ketua Umum PB IDI, Fachmi Idris, juga ikut menyoroti tingginya biaya menjadi tenaga ahli kesehatan. Dia mencontohkan, untuk bisa mengikuti program pendidikan dokter spesialis di sebuah Fakultas Kedokteran ada yang mensyaratkan sumbangan sukarela antara Rp 300 juta sampai Rp 500 juta.

Agar bisa menjadi tenaga bidan harus menyiapkan dana Rp 80 juta-Rp 160 juta, dan menjadi dokter ahli kebidanan dan kandungan diper- lukan rata-rata biaya pendidikan Rp 1,2 miliar.

“Kondisi ini sangat berbahaya, karena dikhawatirkan dokter-dokter akan memberatkan masyarakat dalam pengobatan demi mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan,” ujar Fachmi.

Untuk memecahkan persoalan tersebut, PB IDI memberi beberapa saran antara lain, fakultas-fakultas kedokteran harus memperjuangkan kebutuhan biaya pendidikan melalui skema pembiayaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sejalan dengan komitmen pemerintah meningkatkan biaya pendidikan.

Idealnya, kata Fachmi, khusus pendidikan spesialis, dokter peserta justru harus dibayar bukan malah membayar, karena pada dasarnya dokter residens di sarana pendidikan adalah individu yang belajar sambil bekerja dan menyumbang tenaga secara penuh di sarana pendidikan yang bersangkutan.

“Yang penting juga adalah harus ditinjau ulang penarikan sumbangan sukarela yang sangat besar. Kalau perlu dilakukan audit terhadap besaran sumbangan itu,” kata Fachmi.

Miskin

Sementara itu untuk melayani masyarakat miskin, PB IDI saat ini telah menyusun program pembinaan kaum papa (miskin). Sekretaris Jenderal PB IDI, Zainal Abidin, mengatakan, program ini dilakukan dengan langsung mendatangi masyarakat miskin di daerahnya dan langsung melakukan pelayanan kesehatan.

“Kami sadar banyak warga miskin yang punya kartu askeskin tidak bisa ke puskesmas atau rumah sakit karena tidak ada biaya, maka kamilah yang akan mendatangi mereka,” ujar Zainal.

Sebagai langkah awal, tambahnya, PB IDI telah membentuk tim dokter keluarga untuk bertugas membina kaum papa di Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta selama satu tahun. [E-7]