Bagi sebagian pasangan, disfungsi ereksi pada pria adalah masalah yang serius. Bahkan, sering kali masalah ini berbuntut panjang, sehingga menyebabkan keretakan rumah tangga. Tidak sedikit pria yang mencoba menggunakan obat dan terapi yang ditawarkan di iklan-iklan media massa. Tetapi apakah obat dan terapi itu bisa memulihkan kejantanan? Jawabannya bisa sangat sugestif.

Bagi penderita diabetes melitus, hipertensi, hiperlipidemia, gangguan disfungsi ereksi bisa datang lebih cepat. Hasil penelitian menyebutkan pria penderita diabetes melitus, hipertensi, hiperlipidemia, lebih cepat mengalami disfungsi ereksi, dibanding pria yang tidak memiliki penyakit itu.

Sebuah studi statistik yang membandingkan penggunaan dua bahan obat untuk mengatasi disfungsi ereksi pernah dilakukan oleh sebuah perusahaan dengan responden 1.057 pria di Jerman, Meksiko, dan Amerika Serikat. Mereka adalah pengidap diabetes melitus, hipertensi, dan hiperlipidemia, yang juga mengalami gangguan disfungsi ereksi.

Para responden itu diteliti selama tiga bulan lebih. Bulan pertama responden tidak diberikan obat apa-apa dan diteliti kegiatan seksualnya. Kemudian, pada bulan kedua responden diberikan satu bahan obat. Setelah masa pencucian selama satu minggu, responden kemudian diberikan bahan obat kedua. Obat yang diberikan adalah viagra yang berbahan sildenafil dan levitra yang berbahan vardenafil.

Penelitian Comparing Vardenafil and Sildenafil in the Treatment of Men with Erectile Dysfunction ini dilakukan secara acak, tersamar ganda, serta pooled cross over. Studi ini melibatkan pria berusia di atas 18 tahun dengan disfungsi ereksi lebih dari enam bulan dan memiliki faktor risiko kardiovaskular. Syarat lainnya, mempunyai riwayat hubungan heteroseksual yang stabil (waktu enam bulan terakhir).

Pasien mengikuti dua periode perawatan empat mingguan, dengan mengguakan salah satu pengobatan vardenafil 20 miligram atau sildenafil 100 miligram. Pertanyaan-pertanyaan preferensi yang diajukan setelah partisipan menyelesaikan setiap periode perawatan adalah mengenai preferensi secara menyeluruh. Selain itu, pertanyaan tambahan mengenai efektivitas, termasuk fungsi ereksi (EF) sesuai The International Index of Erectile Function (IIEF), dan sexual a counter profile (SEP).

Dari penelitian itu diketahui, 38,9 persen responden menyatakan pilihan terhadap sildenafil, dibandingkan vardenafil (34,5 persen). Sisanya, 26,6 persen pria tidak memilih pengobatan apa pun. Walaupun perbedaan tersebut secara statistik tidak signifikan, hasil ini mengkonfirmasikan non- inferiority dari vardenafil.

Sebagai tambahan, uji klinis ini menggunakan dosis yang setara untuk masing-masing obat, memiliki sekuen pengobatan yang acak dan menggunakan lembar pernyataan kesediaan yang netral. Penelitian ini juga tidak mengeluarkan peserta yang sebelumnya tidak memberikan respons terhadap pengobatan atau hanya melibatkan pasien-pasien yang naif, pasien yang belum pernah menggunakan obat disfungsi ereksi.

Belum Dibuktikan

Namun, menurut dr Nugroho Setiawan SpAnd, di Indonesia kajian tentang perbandingan antara sildenafil dan vardenafil ini belum dibuktikan. Hasil penelitian itu menggunakan sampel orang-orang Eropa, meskipun secara ilmiah bisa digeneralisasi. “Secara keilmuwan, penelitian itu bisa diterima. Tetapi kalau ditanya apakah efektif terhadap orang-orang Indonesia, hal itu perlu pengujian lagi,” ujarnya menanggapi hasil penelitian itu.

Nugroho menjelaskan saat ini memang banyak beredar obat-obatan yang berfungsi menambah kerja pembuluh darah, dalam hal ini pembuluh darah yang berada di wilayah vital lelaki. “Memang bagi penderita kardiovaskular, kinerja pembuluh darah di sekitar daerah itu lemah, sehingga perlu dipacu. Namun bahan yang digunakan untuk memacu itu harus diwaspadai efek sampingnya,” jelasnya.

Menurut Nugroho, sampai saat ini belum ada kajian yang baik mengenai efek samping obat-obatan yang bekerja untuk meningkatkan kerja pembuluh darah itu. “Tetapi mungkin saja efeknya sama dengan obat-obatan lain yang sudah ada, karena cara kerjanya sama,” tambahnya.

Belajar dari pengalaman yang sering ditemui pada pasien-pasiennya, Nugroho menjelaskan, obat-obatan untuk merangsang atau memaksimalkan fungsi ereksi kaum pria umumnya hanya efektif sekitar 30 persen saja, sisanya adalah sugesti. “Modal awal untuk berhubungan adalah gairah. Tanpa gairah maka akan sulit menimbulkan rangsangan-rangsangan pada alat vital. Jadi harus dilihat dahulu permasalahannya, jika tidak ada gairah maka perlu penanganan psikoterapi. Penanganan psikoterapi ini bisa bermacam-macam,” jelasnya.

Sementara, jika sudah ada gairah tetapi alat vital belum berfungsi maka hal ini memang perlu penanganan. “Obat-obatan pun harus dilihat, apakah untuk menstimulus gairah, atau untuk alat vital. Selama ini konsumen umumnya tidak pernah mengerti atau tidak mau tahu, untuk apakah fungsi obat yang diminumnya. Bahkan sering kali obat-obatan itu tidak sesuai dengan label luarnya. Bagi konsumen, setelah meminum obat, maka akan tersugesti dan lebih percaya diri,” jelasnya.

Untuk mengatasi permasalahan disfungsi ereksi, menurut Nugroho, sebaiknya dibicarakan secara baik-baik dengan pasangan masing-masing. “Harus dilihat masalah disfungsi itu adalah masalah berdua, meskipun ‘benda’-nya ada pada pria. Menjadi masalah berdua karena sering kali masalah ini menjadi penyebab keretakan rumah tangga. Jadi jika ada pasangan yang menemui masalah ini sebaiknya dibicarakan. Laki-laki pun seharusnya tidak perlu menutup-nutupi dari pasangannya, karena akan lebih baik jika ada saling pengertian,” jelasnya. [K-11]