Makalah untuk Roundtable Discussion tentang Konsep Hilal Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Yogyakarta
23-24 September 2007

oleh
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama bidang Sistem Informasi Spasial, Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional

Secara konseptual, baik ru’yatul hilal (praktis) mapun hisab (teoretis) adalah dua sisi mata uang yang sama – keduanya tidak akan bertentangan bila sama-sama dilakukan dengan benar. Oleh karena itu saya melihat perdebatan hisab vs ru’yat itu tidak perlu.
Konsep ru’yatul hilal memiliki sandaran syar’i yang kokoh.
Perintahnya adalah ”telah terlihat hilal”, bukan ”telah masuk waktunya”. Inilah perbedaan pokok perintah yang terkait dengan puasa, dan perintah yang terkait dengan sholat.
Namun perbedaan yang terjadi selama ini sebenarnya bukan hanya hisab vs ru’yat, tetapi juga hisab vs hisab (buktinya untuk 1 Syawal nanti Muhammadiyah berbeda dengan Persis), ru’yat vs ru’yat (buktinya di Kab. Kuningan ada yang memulai puasa hari Rabu 12 September 2007, konon karena ru’yat mereka berhasil melihat hilal), dan bahkan ru’yat matla terbatas vs ru’yat global (Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab lainnya).
Pada tulisan ini saya tidak ingin fokus ke soal fiqihnya an sich, meskipun bahan-bahan pada saya cukup banyak.
Saya akan membahas sisi fakta saja. Biasanya para fuqoha dalam memutus perkara fikih harus paham betul faktanya dulu, baru mencarikan dalil syar’i yang tepat untuk fakta itu.

Faktor Kunci Keberhasilan Ru’yatul Hilal

Ru’yatul Hilal, agar sukses, harus memenuhi tiga kriteria – saya menyebutnya kriteria ABC:
A – Astronomi, yakni bulan telah (1) ijtima’; (2) wujud / di atas ufuk; dan (3) tingginya telah mencapai minimal
yang terbukti seara ilmiah. Syarat A ini semua bisa
dihitung oleh hisab falakiyah (astronomi). Dalam kritera bulan telah ijtima’ (A-1) dan wujud (A-2), hitungan para astronom pada umumnya tidak berbeda. Namun untuk tinggi minimal (A-3), yang ada selama ini (misal 2 derajat) adalah angka hisab pada saat ada kesaksian yang diterima, atau kadang-kadang hanya taksiran kasar, bukan diukur dengan teodolit. Kesaksian ini secara hukum (syar’i) sah, tetapi secara ilmiah belum memenuhi obyektivitas. Fakta hilal yang terrekam foto setahu saya belum pernah terjadi pada ketinggian 2 derajat apalagi kurang atau umur bulan kurang dari 20 jam (www.icoproject.org). Kalau syarat A-3 ini dipenuhi, kemungkinan perbedaan hisab (teoretis) dengan ru’yat (praktis) akan sangat minimum.
B – Baiknya pengamat dan lingkungan pengamatan. Pengamat harus sehat, tidak memiliki gangguan penglihatan, serta terlatih melihat hilal; sedang lingkungan pengamatan (ke ufuk Barat)) tidak boleh terganggu oleh pepohonan, gedung-gedung, gunung ataupun sumber cahaya lain. Syarat B ini tidak dapat dihitung tetapi dapat dipersiapkan.
Termasuk persiapan yang bagus adalah pengamatan pada pos observasi bulan yang didesain khusus seperti di Pelabuhan Ratu (di atas bukit dan menghadap ke laut lepas) dan penggunaan alat-alat optis-elektronis, misalnya teropong yang dilengkapi kamera digital berresolusi tinggi. Foto digital yang didapat bisa diolah dengan pengolah citra untuk memisahkan cahaya bulan dari cahaya latar yang pada umumnya jauh lebih cerah dan panas (dari matahari). Namun saya kira ada juga orang yang menolak penggunaan alat seperti ini dengan alasan ru’yatul hilal adalah ibadah yang tauqifi (harus dilaksanakan persis seperti di zaman Nabi). Orang seperti ini juga mungkin akan menolak penggunaan loud speaker pada saat khutbah Jum’at.
C – Cuaca. Seberapapun tinggi dan umur hilal, kalau cuaca mendung, maka hilal tidak terlihat. Cuaca ini tidak dapat diperhitungkan maupun dipersiapkan. Kalau ini terjadi ya sesuai hadits nabi: ”Genapkan 30 hari!” – kecuali kalau kemudian ternyata di daerah lain hilal berhasil diru’yat.
Adanya syarat ABC ini membuat kapan 1 Ramadhan / 1 Syawal / 9 Zulhijjah tidak bisa dipastikan jauh-jauh hari seperti halnya hari peribadatan agama lain. Namun kita harus yakini bahwa tentu ada wisdom di balik itu dari Allah swt.

Kalender Hisab bisa berbeda-beda

Sementara itu Hisab memang diperlukan untuk, bahkan oleh mereka yang memegang pendapat bahwa Ru’yat wajib dan tak tergantikan oleh Hisab. Kenapa? Ru’yat hanya akan dilakukan pada tanggal 29 bulan sebelumnya!
Ru’yat Ramadhan hanya akan dilakukan tanggal 29 Sya’ban.
Kita tak perlu berkilah bahwa seharusnya awal Sya’bannyapun harus diru’yat …. Nanti tidak akan ada habisnya … Yang jelas, kapan tanggal 29 ini, sudah tertera di kalender. Dan ini hasil hisab!
Namun rupanya, kalender hasil hisab ini bisa berbeda-beda oleh 3 faktor:
1. Faktor rumus perhitungan. Rumus-rumus hisab pada
kitab-kitab tua dibuat sederhana (karena juga pada masa itu belum ada komputer), sehingga untuk menghitung gerhana saja bisa meleset hampir 2 jam! Tetapi pada umumnya sekarang orang menggunakan rumus astronomi modern yang mengacu kepada The Astronomical Almanach, the Royal Navy Nautical Almanach, atau bahkan rumus-rumus yang dipakai oleh dua buku itu sudah dimasukkan kedalam software.
Minimal hasilnya untuk menghitung ijtima’ akan sama, mungkin beda satu menit karena faktor pembulatan.
2. Faktor titik sentral perhitungan (markazul falakiyah).
Hisab untuk menghitung wujudul hilal mau tidak mau akan menghitung waktu terbenam bulan dan matahari, dan ini sangat tergantung dilihat dari posisi mana? Oleh karena itu, perbedaan titik sentral akan mempengaruhi hasilnya.
Penggunaan titik sentral di Indonesia Barat akan berbeda dengan titik sentral di Indonesia Timur, apalagi dengan di luar negeri. Untuk penggunaan kalender hijri yang berlaku internasional, sebaiknya titik sentralnya adalah Makkah, agar klop dengan ritme ibadah haji.
3. Faktor kriteria masuk tanggal. Katakanlah rumus dan
titik sentral sama, tetapi kalau kriteria masuk tanggal beda, maka hasilnya pada kondisi kritis bisa beda.
Contohnya: Muhammadiyah & Persis. Mereka menggunakan rumus dan titik sentral yang sama, namun Muhammadiyah memakai 0 derajat, Persis 2 derajat. Ketika tinggi hilal saat matahari terbenam katakanlah 1 derajat, bagi Muhammadiyah besok sudah tanggal 1, bagi Persis besok tanggal 30 (istikmal).

Usulan untuk mempersatukan

Oleh karena itu menurut saya, untuk mempersatukan masalah
perbedaan awal dan akhir Ramadhan, yang harus dilakukan
adalah
1. Menyamakan persepsi kriteria hisab kalender. Faktor
kriteria masuk tanggal sebaiknya mengacu kepada imkanur
ru’yat yang sudah terbukti secara ilmiah. Bukan ijtima’
(baik qobla ghurub maupun qabla fajr) ataupun wujudul
hilal! Kalau wujudul hilal, maka bila tinggi bulan masih
sangat rendah, pasti akan berbeda terus dengan metoder
ru’yat praktis. Sedang bila kriterianya imkanur ru’yat,
maka perbedaan dengan ru’yat praktis hanya tinggal masalah
cuaca.
2. Menyamakan persepsi tentang kriteria ru’yat praktis
yang boleh diterima. Ini adalah masalah kesaksian.
Selain syarat administratif yaitu bahwa saksi harus
seorang muslim yang adil, syarat ABC juga harus dimasukkan
untuk menghindari kesalahan kesaksian. Artinya, syarat A:
laporan harus diberikan pada daerah yang memang sudah
memungkinkan, dan pada jam yang memungkinkan (bukan pada
jam yang masih / sudah mustahil bulan dirukyat); syarat B:
laporan harus diberikan oleh seseorang yang terbukti sehat
dan tidak terganggu penglihatannya, juga dari tempatnya
melihat ke arah ufuk barat tidak ada penghalang yang
serius; syarat C: terbukti di daerah tersebut tidak ada
mendung atau hujan yang menghalangi ru’yat praktis.
3. Menyamakan persepsi tentang berita ru’yat dari cakupan
yang lebih luas dari wilayah Indonesia. Indonesia
sebaiknya menjalin kerjasama dengan negeri-negeri Islam
lainnya untuk menyamakan kedua persepsi di atas, sehingga
baik kalender maupun laporan ru’yat dari sesama negeri
Islam bisa memiliki kualitas yang sama. Dengan demikian
bisa dihindari kejadian bahwa di Indonesia sebenarnya
antar ormas dan pemerintah sudah sama, tetapi ada
sekelompok orang yang mengikuti berita ru’yat dari Timur
Tengah. Ini sekaligus untuk mengantisipasi kejadian di
mana di seluruh Indonesia hilal tidak terlihat karena
faktor cuaca (misalnya saat musim penghujan), tetapi di
Malaysia, Pakistan atau Saudi hilal terlihat. Maka
mestinya kita bisa menggunakan hasil ru’yat negeri lain
tersebut. Tentu saja kalau kriteria B di sana sendiri
tidak benar (seperti yang selama ini sering terjadi, ada
laporan ru’yat padahal di sana juga hilal masih belum
wujud), maka kita di Indonesia tidak wajib mengikutinya.

Demikianlah, semoga sumbang saran ini dapat membawa ke
arah persatuan dan kesatuan ummat, sehingga ummat dapat
menikmati indahnya kebersamaan memulai dan mengakhiri
Ramadhan.

Penulis menyelesaikan studi geodesi dan remote sensing
pada Vienna University of Technology Austria (PhD tahun
1997). Menekuni masalah hilal sejak 1989, ikut
berkontribusi dalam pembuatan software kalkulasi bulan
MAWAAQIT (bersama Dr. Khafid).