Oleh

Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaaly & Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

sumber http://www.almanhaj.or.id

[1]. Hikmahnya

Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada

orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa

sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”

[Al-Baqarah : 183]

Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab,

yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah (jima’) setelah tidur. Yaitu

jika salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam

selanjutnya, demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah

kami terangkan di muka [1] karena dihapus hukum tersebut. Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara

puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.

Dari Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sllam bersabda.

“Artinya : Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan

sahur” [Hadits Riwayat Muslim 1096]

[2]. Keutamaannya

[a] Makan Sahur Adalah Barokah.

Dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda.

“Artinya : Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama’ah, Ats-Tsarid dan

makan Sahur” [2]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan

takaran” [3]

Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam : Aku masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada

kalian, maka janganlah kalian tinggalkan'” [Hadits Riwayat Nasa’i 4/145 dan

Ahmad 5/270 sanadnya SHAHIH]

Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur

berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk

menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa.

Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka

tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

wa sallam menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam

dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda ‘Radhiyallahu ‘anhuma.

“Artinya : Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur” [4]

[b]. Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur.

Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah Subhanahu wa

Ta’ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi

mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka,

berdo’a kepada Allah agar mema’afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang

yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi

wa sallam bersabda.

“Artinya : Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya

walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya

bershalawat kepada orang-orang yang sahur” [Telah lewat Takhrijnya]

Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang

besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang

paling afdhal adalah korma.

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma” [5]

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk

bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang

disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air” [Telah lewat

Takhrijnya]

[3]. Mengakhirkan Sahur

Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shallallahu

‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu melakukan sahur,

ketika selesai makan sahur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk

shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat

kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.

Anas Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu

‘anhu.

“Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian

beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan

sahur?” Zaid menjawab, “kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an”[6]

Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian

diperbolehkan makan, minum, jima’ selama (dalam keadaan) ragu fajar telah

terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan

batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya’nuhu

mema’afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima,

selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum

mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak

ada keraguan lagi. Jelaslah.

[4]. Hukumnya

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya –

dengan perintah yang sangat ditekankan-. Beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu” [7]

Dan beliau bersabda.

“Artinya : Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah” [Hadits

Riwayat Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas]

Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau

bersabda.

“Artinya : Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur”

[Telah lewat Takhrijnya]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meninggalkannya, beliau

bersabda.

“Artinya : Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan

walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi

sahalawat kepada orang-orang yang sahur” [8]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air” [9]

Saya katakan : Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan

anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.

Perintahnya.

Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita

dan puasa Ahlul Kitab

Larangan meninggalkan sahur.

Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas.

Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul

Bari 4/139 : Ijma atas sunnahnya. Wallahu ‘alam.

[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii

Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan

Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]

_________

Foote Note.

[1]. Lihat sebagai tambahan tafsir-tafsir berikut : Zadul Masir 1/184 oleh

Ibnul Jauzi, Tafsir Quranil ‘Adhim 1/213-214 oleh Ibnu Katsir, Ad-Durul

Mantsur 1/120-121 karya Imam Suyuthi.

[2]. Hadits Riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 5127, Abu Nu’aim dalam Dzikru

Akhbar AShbahan 1/57 dari Salman Al-Farisi Al-Haitsami berkata Al-Majma

3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah Al-bashiri, Adz-Dzahabi berkata :

“Tidak dikenal, peawi lainnya Tsiqat. Hadits ini mempunyai syahid dalam

riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Munadih Auhumul

Sam’i watafriq 1/203, sanadnya hasan.

[3]. Hadits Riwayat As-Syirazy (Al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami’us Shagir

1715 dan Al-Khatib dalam Al-Muwaddih 1/263 dari Abu Hurairah dengan sanad

yang lalu. Hadits ini HASAN sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat

sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaidul Qadir 2/223, sepertinya

ia belum menemukan sanadnya.!!

[4]. Adapun hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud

2/303, Nasa’i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari

Abi Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul. Sedangkan hadits Abu Darda

diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-Harits dari

Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa’ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada

syahidnya dari hadits Al-Migdam bin Ma’dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad

4/133. Nasaai 4/146 sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah karena dia

menegaskan hadits dari syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus

tegas-tegas dalam seluruh thabaqat hadits, beliau termasuk mudllis

taswiyha?! Maka hadits ini SHAHIH

[5]. Hadits Riwayat Abu Daud 2/303, Ibnu Hibban 223, Baihaqi 4/237 dari

jalan Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya

SHAHIH

[6]. Hadits Riwayat Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam

Al-Fath 4/238 : “Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan

mereka, (misal) : kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu

antara dua perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai

ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliau Radhiyallahu ‘anhu

bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan

mentadhabur Al-Qur’an”. Sekian dengan sedikit perubahan.

[7]. Ibnu Abi Syaibah 3/8, Ahmad 3/367, Abu Ya’la 3/438, Al-Bazzar 1/465

dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir.

[8]. Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/8, Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan

dari Abu Said Al-Khudri. Sebagaimana menguatan yang lain.

[9]. Hadits Riwayat Abu Ya’la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh

hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban no.884 padanya ada ‘an-anah Qatadah.

Hadits Hasan

http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1101&bagian=0