PRIMAL LEADERSHIP: LEADING WITH EMOTIONAL INTELLEGENCE
Oleh: Antonio Dio Martin

“Because emotions are `contagious’, particularly in a group in the
workplace or in the government, emotions spread most powerfully from
the leader outward, and a leader is in an optimal position to drive
the emotional tenor.” (Daniel Goleman)


Ada sebuah kisah kepemimpinan yang menarik. Sewaktu Alexanders Agung
mencoba menaklukkan dunia, berkali-kali ia dan tentaranya harus
melewati gurun pasir yang tandus dan gersang. Suatu ketika, berhari-
hari ia dan tentaranya berjalan melewati gurun dengan panas yang
terik. Persediaan air mereka habis. Tentara kahausan dan beberapa
diantaranya tak sanggup melanjutkan dan mati. Beberapa tentara
mencoba berinisiatif mencari air, akhirnya dikumpulkanlah sisa air
yang kurang lebih hanya ada secangkir. Karena mencintai Alexander,
mereka memberikannya kepada `Sang Agung’ supaya tetap selamat.
Ketika diberikannya kepada Alexander, air itu dibuangnya ke atas
pasir. Lantas, Alexander Agung berkata, “Air ini tidak akan cukup
untuk kita semua. Mari kita bersama lanjutkan perjalanan ini.
Bersama-sama, kita akan melewati kesulitan ini”.

Wow! Sebuah kepemimpinan yang –tidaklah mengherankan— menyebabkan
anak buahnya rela `mati’ bersama dengannya. Kualitas kepemimpinan
seperti Alexander Agung inilah yang secara khusus kita kategorikan
sebagai bentuk kepemimpinan yang disebut Primal Leadership. Istilah
ini diinspirasikan dari buku best seller karya Daniel Goleman
bersama dua rekannya, Richard Botayzis serta Annie McKee. Daniel
Goleman. Dalam buku tentang Primal Leadership ini, kembali Daniel
Goleman mengangkat tema kepemimpinan yang memiliki “hati”. Memang,
dalam banyak ilustrasi antara “hati” dengan “otak” seringkali
digambarkan sebagai burung dengan kedua sayapnya. Antara
sayap “otak” dengan sayap “hati” dibutuhkan kerjasamanya agar seekor
burung bisa terbang dengan seimbang.

Mengapa disebut sebagai “Primal Leadership”? Primal berasal dari
kata “prima” atau utama. Dalam pola kepemimpinan Primal Leadership,
hati dipercaya lebih banyak berpengaruh daripada otak atau logika.
Sebagaimana dikatakan seorang pujangga Inggris, “Tanganmu tidak
mampu meraih apa yang tidak diinginkan hatimu”. Lagipula, kita
menyaksikan bahwa banyak pemimpin diteladani, diikuti dan menjadi
inspirasi oleh karena “hatinya” yang merakyat, mengerti dan
mengayomi. Sebaliknya, para pemimpin yang cuma berkata-kata tetapi
dalam hatinya tidak memiliki rasa solidaritas, keinginan memahami
dan berbela rasa, akhirnya akan ditinggalkan. Kisah Maria Antonnette
dijaman revolusi Perancis adalah kisah seorang ratu yang hidupnya
berakhir tragis. Saat dihukum pancung dengan pisau Gillottine, tidak
ada satu rakyat Perancispun yang meratapinya karena selama ikut
memerintah, ia dianggap sangat tidak sensitif terhadap penderitaan
rakyat dan tidak pernah peduli. Kita juga masih bisa mengingatkan
berderet pemimpin yang berakhir dengan tragis karena keangkuhan,
kesombongan, egoisme serta ketidakpeduliannya pada orang yang
dipimpinnya. Keangkuhan Musolini di Italia misalnya, akhirnya
dibayar dengan hukuman gantung baginya. Rakyat, bawahan, pengikut,
akan mendambakan memiliki seorang pemimpin yang mau mengerti dan
berbela rasa kepada mereka. Bangsa kita sendiri pernah memiliki
pemimpin sejati seperti jendral Sudirman yang dalam kondisi sakit,
masih tetap bergerilya. Para prajurit dan rakyat, mencintainya.

Kualitas dan kompetensi kepemimpinan yang memahami kondisi anak
buahnya, seringkali disebut dengan kualitas kepemimpinan
yang `beresonansi’. Kata `resonansi’ sendiri, diambil dari istilah
ilmu Fisika yang secara umum berarti, “ikut bergetar karena yang
adanya sesuatu yang sedang bergetar”. Idealnya, seorang pemimpin
yang beresonansi adalah pemimpin yang dapat turut
merasakan `getaran’ perasaan, kepahitan serta jeritan “hati” anak
buahnya. Salah satu contoh cerita menarik adalah kisah di perusahaan
SoundView saat masih dipimpin oleh Mark Loehr.

Setelah kejadian tragis 11 September di WTC, banyak karyawannya yang
berduka. Untuk itu, Mark Loehr secara khusus memberikan waktunya
yang berharga untuk mendengarkan sharing perasaan karyawannya dan
setiap malam jam 21.45, Mark Loehr mengirimkan email pribadi yang
tujuannya memberikan dukungan moral bagi anak buahnya. Dan untuk
lebih konkritnya, Mark Loehr bahkan memutuskan untuk mengumpulkan
profit perusahaan satu hari yang diperuntukkan bagi karyawan yang
terkena musibah. Pada hari yang ditentukan tersebut, mereka bahkan
berhasil mengumpulkan 6 juta dollar, padahal biasanya profit mereka
cuma setengah atau 1 juta dollar saja! Para karyawan bahkan
customer, begitu bersimpati dengan apa yang dilakukan oleh
SoundView. Mengenai pemimpin yang demikian tersebut ini, Mark Loehr
pernah mengatakan, “Dalam kondisi kritis, semua orang berpaling
kepada pemimpin untuk mendapatkan support emosional. Pastikan, jika
Anda seorang pemimpin, Anda memberikannya pada saat-saat kritis
seperti itu”

Lantas, bagaimanakah membangun kompetensi Primal Leadership ini?
Untuk membangun kompetensi kepemimpinan yang “Primal” ini ada
beberapa tahapan yang penting. Terkait dengan EQ, ditekankan
mengenai 4 tangga EQ menuju puncak Primal Leadership:

SELF AWARENESS

Tahapan ini merupakan elemen dasar bagi Kepemimpinan berdasarkan EQ.
Penyadaran perasaan sendiri adalah kunci penyadaran bagi perasaan
orang lain. McDonald, misalnya memiliki tradisi bahwa seorang
pemimpin mestinya ikut merasakan menjadi janitor dan pembersih,
dengan demikian ketika seseorang memimpin suatu cabang McDonald maka
ia bisa turut merasakan bagaimana kesulitan, masalah dan beban
pekerjaan seorang yang berada di level bawah seperti janitor. Disini
kita melihat bahwa, kesadaran diri adalah awal bagi penyadaran
keadaan orang lain. Banyak organisasi yang paham, bahwa untuk
membangun seorang pemimpin yang baik, dibutuhkan pemimpin yang dapat
memahami dan sadar dengan situasi anak buahnya. Tidak ada cara lain
selain mencoba berlaku dalam posisi “anak buah itu sendiri”.
Seringkali dikatakan, seorang pemimpin yang mendapatkan kuasanya
dengan cara mudah, tidak pernah turut menderita akhirnya akan mudah
main perintah, seenaknya dan mudah memanipulasi diri yang seiring
berjalannya waktu akan ditinggalkan oleh anak buahnya atau malah
dilecehkan.

EMOTIONAL MANAGEMENT

Setelah menyadari, tugas seorang pemimpin adalah bagaimana ia
mengontrol dan mengendalikan perasaannya. Ada saat-saat tertentu
dimana seorang pemimpin akan mengalami banyak problem, kesulitan
maupun stress akibat pekerjaan maupun akibat ulah anak buahnya. Pada
saat-saat kritis dan sulit, seorang pemimpin ditantang untuk tetap
berpikir jernih dan tidak kehilangan kendali atas emosinya. Seorang
pemimpin akan kehilangan respek serta dicap dengan berbagai hal yang
negatif tatkala kehilangan control atas emosinya. Mungkin masih
segar dalam ingatan kita saat misalnya salah seorang Menteri dalam
kabinet Megawati, kehilangan kontrol emosi dan mulai meledak-ledak
dalam satu acara diskusi di suatu stasiun TV swasta. Bisa
dibayangkan bagaimana image yang mungkin timbul atas Menteri ini
pada jutaan rakyat Indonesia yang menyaksikannya.

EMOTIONAL CONNECTION

Setelah sanggup mengendalikan dirinya, seorang pemimpin pun dituntut
untuk mampu berelasi baik dengan diri sendiri maupun dengan orang
lain. Berelasi berarti berinteraksi agar mampu menghasilkan suatu
tindakan yang positif. Agar berhasil, seorang yang baik harus mampu
berempati, tahu kapan harus melakukan persuasi maupun kapan harus
memberikan dorongan serta lebih banyak mendengarkan orang lain.
Salah satu contoh permasalahan yang menarik adalah kisah yang
dikutip oleh Daniel Goleman mengenai kejadian yang pernah dialami
oleh salah satu divisi siaran di BBC yang harus ditutup oleh
manajemennya. Saat itu, salah seorang pemimpinnya, tatkala
mengumumkan penutupan divisi tersebut justru membangga-banggakan
divisi siaran perusahaan lain yang baru dikunjunginya dan bernada
arogan. Akibatnya, justru karyawan BBC yang ditutup memberikan
reaksi perlawanan dan ketidaksenangannya karena ulah pimpinan
tersebut. Dalam hal berelasi dengan orang lain, seorang pemimpin
memahami bahwa apapun kata-kata maupun tindakannya akan berdampak
besar kepada bawahannya. Karena itu, seorang pemimpin dengan level
emotional connection yang baik, tahu apa perbedaan antara ditakuti
serta dihargai. Para pemimpin yang efektif ini, mengerti bahwa untuk
dihargai, tidaklah selalu harus ditakuti. Mereka tidak khawatir
menunjukkan persaaan-perasaan mereka, tetapi justru dengan demikian
mereka dipuja, dihargai dan sekaligus dicintai. Herb Kelleher,
mantan CEO Southwest Airlines yang terkenal `koboi’ adalah contoh
profil CEO dengan level emotional connection yang tinggi.

PERSONAL LEADERSHIP

Tahapan ini merupakan tahapan kepemimpinan berlandaskan emosional
tertinggi dimana seorang pemimpin mulai menggerakkan anak buahnya,
memimpin tim, memberdayagunakan sumber daya kelompoknya untuk
mencapai tujuan bersama. Dalam personal leadership inilah terletak
style kepemimpinan yang dibangun. Style kepemimpinan ini bisa
beragam bentuknya. Akan tetapi apapun style yang ditampilkan, mereka
tetap memiliki kedekatan emosi yang baik dengan bawahannya. Sebagai
contohnya dari seorang Walt Disney yang visioner, Bill Gates yang
style-nya blak-blakan serta Jack Welch dari GE, yang sering dicap
otoriter, semuanya menunjukkan pengalaman dimana mereka memiliki
kualitas perhatian serta kedekatan emosional dengan bawahannya
secara mendalam.

Dengan demikian, kita melihat bahwa Primal Leadership bukanlah suatu
style leadership tertentu, tetapi merupakan suatu persyaratan utama
yang harus dimiliki oleh setiap leader, apapun style yang
diterapkan. Sebagaimana dikatakan oleh John Maxwell, maha
guru “ledership” saat ini, “Satu-satunya cara seorang pemimpin
membangun karisma adalah dengan mengambil hati bawahannya dan
menaruhnya di level terdepan dalam hatinya”. Para pemimpin dengan
jiwa kompetensi Primal Leadership ini, akhirnyalah yang sungguh akan
dicintai. Ibarat perkawinan, dengan kemampuan seorang pemimpin untuk
bisa merasakan apa yang dirasakan anak buahnya, mereka akhirnya akan
tetap dicintai dalam kondisi suka maupun duka.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++