Oleh Pouw Tjoen Tik

Belum lagi genap setengah abad sejak pencangkokan jantung pertama berhasil dilakukan (Christian Bernard – 1967), kini transplantasi organ di berbagai negara sudah hampir menjadi tindakan medis rutin. Bahkan pada beberapa kasus, dua organ sekaligus dicangkokkan (jantung dan paru-paru, ginjal dan pankreas).

Walaupun demikian, penolakan tubuh pasien terhadap organ yang dicangkokkan, dan langkanya donor masih merupakan kendala-kendala utama dari transplantasi organ. Untuk menanggulanginya diperlukan terobosan rekayasa biomedis yang memungkinkan digunakannya sel-sel pasien itu sendiri. Hal ini tidak mustahil, karena semua jenis sel-sel tubuh kita berasal dari satu macam sel, yaitu sel induk atau sel stem (stem cell).

Sel Stem

Sel stem dapat dianalogkan dengan sebutir biji. Seperti biji yang berpotensi tumbuh menjadi tanaman, demikian pula sel stem berpotensi untuk tumbuh menjadi berbagai macam sel (pluripotent cell).

Proses perubahan menjadi bermacam jenis sel ini dalam ilmu genetika disebut differentiation. Differentiation terjadi, karena gen-gen dalam sel stem memprogram ulang sel stem (reprogramming).

Reprogramming terjadi bila sel stem menerima rangsangan dari luar. Rangsangan tersebut dapat berupa zat kimia dari sel stem lainnya, pergesekan antar sel-sel stem atau masuknya gen-gen asing (seperti sperma yang memasuki sel telur).

Berdasar lokasinya, ada dua kelompok sel stem. Sel stem yang berada dalam sel telur yang telah dibuahi, disebut sel stem janin (embryonic stem cells), sedangkan yang berada di antara sel-sel organ (otak, sumsum tulang, otot, kulit, pembuluh-pembuluh darah dan hati) disebut sel stem organ (somatic atau adult stem cells).

Kemampuan sel stem organ untuk berubah menjadi berbagai jenis sel (plasticity) sangat terbatas ketimbang sel stem janin. Tampaknya sel stem organ diprogram untuk mengganti sel-sel yang rusak atau mati dari organ itu sendiri. Sebaliknya sel stem janin disiapkan untuk membentuk janin seutuhnya.

Dewasa ini para ilmuwan telah menemukan faktor-faktor utama (OCT4, SOX2, NANOG, dan LIN28) yang dapat membuat sel stem organ ber-differentiation seperti sel stem janin. Para peneliti biomedis Jepang telah berhasil merangsang sel kulit manusia untuk ber-differentiation‘ seperti sel stem janin (Nature Reports Stem Cells, 28 Februari 2008)

Pembudidayaan

Upaya untuk mengembangbiakkan sel stem di laboratorium sejauh ini lebih banyak dilakukan terhadap sel stem janin, karena sel stem organ selain sedikit jumlahnya juga sukar diisolasi. Sel stem janin diambil dari janin yang baru berusia tiga hingga lima hari (blastocyst).

Pada dinding bagian dalam dari blastocyst terdapat sekitar tiga puluh sel stem. Kelompok sel ini (inner cell mass), disebar ke dalam piringan plastik (petri dish) yang berisi cairan nutrisi untuk kelanjutan hidup sel-sel. Dinding dalam dari petri dish disalut dengan sel embrionik kulit tikus yang telah di”tidur”kan, sehingga tidak dapat berkembang biak.

Lapisan embrionik sel kulit tikus ini selain memberi nutrisi juga menjadi tempat melekatnya sel-sel stem. Dalam beberapa hari, sel-sel stem mulai berkembang biak. Seperti pada teknik penyemaian di bidang pertanian, anak-anak sel stem di pindah-pindahkan ke petri dish yang baru.

Pemindahan ini selain untuk memberi nutrisi segar, juga untuk mencegah pergesekan antar sel-sel yang dapat merangsang proses differentiation. Setelah lebih dari enam bulan jumlah tuaian dapat mencapai jutaan sel-sel stem.

Hasil tuaian ini dibekukan dan dapat dikirim ke seluruh dunia. Riset dan pengobatan dengan sel stem dapat dilakukan oleh semua negara, karena peralatan dan laboratorium yang dibutuhkan relatif tidak mahal.

Para ilmuwan merekayasa differentiation sel-sel stem menjadi sel-sel tertentu seperti sel saraf, otot jantung, dan sebagainya. Teknik yang digunakan, antaranya: mengganti jenis sel pelapis dinding Petri dish, mengubah-ubah jenis media, mencampur media dengan obat-obatan, atau menyuntikkan gen-gen ke dalam sitoplasma sel-sel stem.

Pengobatan dengan Sel Stem

Seperti pada transplantasi organ, sel stem yang disuntikkan ke dalam organ dapat ditolak oleh tubuh pasien. Untuk menghindarinya, digunakan sel stem hasil pembudidayaan somatic atau adult stem cells pasien itu sendiri.

Dewasa ini, sel stem yang banyak dibudidayakan berasal dari sumsum tulang, butiran-butiran darah, dan tali pusat bayi. Pengobatan dengan sel stem menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan dalam mengatasi keganasan kanker darah putih (leukemia).

Pada pengobatan ini, mula-mula sel-sel leukemia dimatikan dengan radiasi radioaktif dan obat-obatan antikanker. Kemudian sel-sel stem disuntikkan ke dalam sumsum tulang si pasien.

Dari Brasil, dilaporkan bahwa seorang remaja dengan Diabetes mellitus tipe-1, berhasil dibebaskan dari ketergantungannya terhadap insulin, setelah sel stem dicangkokkan ke dalam pankreasnya (Associated Press, 10 April 2007).

Pencangkokan sel stem dari hidung pasien dengan Parkinson (bahasa Jawa: ‘buyuten’) pada tikus, menghasilkan sel-sel saraf yang memproduksi Dopamine (Life Site News, 12 Juni 2008). Parkinson adalah gangguan kesehatan akibat kurangnya jumlah sel-sel saraf penghasil Dopamine dalam otak.

Kendala utama pengobatan dengan sel stem adalah tidak adanya jaminan bahwa sel-sel stem yang dicangkokkan akan menerima rangsangan yang tepat dari sel-sel organ sehat sekitarnya. Rangsangan yang nyeleneh, akan menghentikan differentiation dan sel-sel stem yang dicangkokkan tumbuh menjadi tumor (The University of Utah, Genetic Science Learning Center, 2008).

Di samping itu, hingga saat ini kelanggengan hidup sel-sel stem yang telah ber-differentiation masih dipertanyakan dan sedang dalam pemantauan.

Namun, terlepas dari berbagai hambatan teknik dan hadangan hukum, riset stem sel terus melaju dengan pesat dan hari depan yang cerah terbentanglah sudah bagi penanggulangan berbagai penyakit.

Penulis adalah alumnus Fakultas Kedokteran Unair, berdomisili di Austin, Texas, USA.