Penderita stroke kini dapat bernapas sedikit lebih lega. Salah satu studi, disebut studi Stroke Prevention by Aggressive Reduction in Cholesterol Levels (SPARCL), berhasil membuktikan bahwa stroke berulang dapat ditekan.

Berdasarkan data dari Asosiasi Stroke Nasional Amerika Serikat, satu dari lima orang Amerika yang selamat melalui serangan stroke pertama akan terkena serangan stroke berikutnya dalam kurun waktu lima tahun. Sementara di Indonesia, serangan stroke berulang terjadi pada 19,9 persen penderita.

Di antara mereka yang mengalami stroke pada usia berapa pun, 24 persen perempuan dan 42 persen laki-laki akan mengalami stroke berikutnya dalam kurun waktu 5 tahun. Stroke berulang atau stroke kedua sering kali mempunyai angka kematian dan kecacatan yang lebih tinggi dari pada stroke yang pertama karena bagian otak yang rusak dalam serangan stroke pertama mungkin belum pulih sempurna.

Selain itu, risiko untuk terjadinya kematian atau kecacatan akan terus meningkat setiap kali terjadinya stroke berulang. “Hasil studi SPARCL merupakan informasi yang sangat penting bagi para dokter, karena pasien yang pernah mengalami serangan stroke sangat rentan terhadap risiko stroke berikutnya,” kata Kepala Departemen Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo Jusuf Misbach beberapa waktu lalu.

Studi SPARCL dilakukan melanjutkan studi sebelumnya di mana penggunaan statin sebelumnya terbukti dapat menurunkan risiko serangan stroke pertama pada pasien dengan ataupun tanpa riwayat penyakit jantung koroner.

Studi dilakukan di lebih dari 200 tempat di Amerika Utara, Eropa dan Timur Tengah, Amerika Selatan, Afrika dan Australia dan melibatkan 4.731 pasien.

Pelaksanaan studi ini sendiri berlangsung selama lima tahun. Dalam studi tersebut, pasien yang diteliti adalah mereka yang mempunyai riwayat stroke atau stroke ringan yang terjadi dalam waktu 1-6 bulan sebelum studi berlangsung dan tanpa disertai riwayat penyakit jantung, dengan kadar kolesterol sedikit meningkat.

Mereka diteliti selama kurang lebih lima tahun, dimana 2.365 pasien menerima Atorvastatin 80 mg per hari. Dan 2.366 orang menerima plasebo (obat kosong). Hasil membuktikan bahwa dibandingkan plasebo, Atorvastatin lebih unggul dalam mengurangi risiko terjadinya stroke berulang serta kejadian koroner seperti serangan jantung.

“Stroke adalah kondisi fatal yang menyebabkan beban besar baik bagi penderita maupun keluarganya. Sebab itu, penurunan tingkat risiko terjadinya penyakit tersebut merupakan prioritas utama dalam bidang pengobatan kardiovaskular,” jelas Misbach.

Stroke sendiri sering disebut brain attack atau serangan otak yang terjadi akibat suplai oksigen dan nutrien ke otak terganggu karena pembuluh darah tersumbat atau pecah. Jenis stroke ada dua, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik.

Stroke iskemik terjadi bila pembuluh darah tersumbat. Biasanya bersifat sementara, dan tidak menyebabkan kerusakan neurologi yang permanen disusul dengan pemulihan klinis.

Sementara stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah pecah. Stroke hemoragik sendiri ada dua, bisa terjadi di otak, dan bisa juga terjadi antara rongga otak dan tulang teng-korak.

Akibat stroke ini, pembuluh yang terserang tidak dapat membawa nutrien dan oksigen ke otak. Jika aliran darah tidak segera diperbaiki dapat membunuh sel saraf/neuron sehingga terjadi serangan. Insiden stroke sendiri mencapai 15 juta kasus per tahun.

Dan berdasarkan data WHO tahun 2005, stroke merupakan 10 persen penyebab kematian di dunia. Stroke iskemik sendiri lebih sering terjadi dibandingkan stroke hemoragik. Di mana stroke iskemik terjadi 88 persen, sementara hemoragik hanya 12 persen.

Faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi atau memang sudah ada, yaitu usia tua, ras atau etnis dimana risiko lebih besar pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih, pria, kehamilan dan riwayat stroke dalam keluarga. Sementara yang dapat dimodifikasi, yaitu merokok, hipertensi, diabetes, dislipidemia, dan obesitas.

Misbach menjelaskan, saat ini stroke dianggap sebagai momok dan menjadikan masyarakat untuk semakin waspada dalam mengantisipasinya. Inti dari penanganan stroke adalah pasien harus secepat mungkin ditangani, jika memungkinkan dilakukan dalam hitungan menit.

Periode waktu 3 jam setelah serangan stroke adalah periode emas (golden hour) untuk melakukan penanganan stroke. Jika seseorang terkena stroke ditangani dengan cepat dalam kurun waktu tersebut, maka kerusakan otak yang sifatnya berat akan dapat dihindari.

Semakin lama penanganan yang dilakukan maka akan menambah berat beban yang akan diderita oleh pasien karena jumlah suplai darah ke otak akan berkurang sehingga menyebabkan kerusakan permanen pada otak. Kerusakan pada otak ini dapat menyebabkan kecacatan.

Di Inggris, ada 250.000 orang hidup dengan kecacatan karena stroke. Sementara di Asia, khususnya di Indonesia, setiap tahun diperkirakan 500.000 penduduk terkena stroke sekitar 2,5 persen atau 250.000 orang meninggal dunia dan sisanya cacat ringan maupun berat.

Stroke dapat menyebabkan kelumpuhan, sehingga memerlukan perawatan medis yang intensif. Yang jelas, stroke adalah penyebab utama kecacatan pada orang dewasa di Amerika Utara, Eropa dan Asia. Dalam kurun waktu satu tahun setelah kejadian stroke, satu dari tiga orang yang selamat dari serangan stroke akan mengalami ketergantungan fungsional. [A-22]