strokeStroke yang tidak mengenal jenis kelamin adalah penyebab utama kematian di Indonesia Ketika menyerang penderita, aliran darah yang dibawa ke otak akan terhambat dan sel otak akan mati.

Stroke adalah akibat dari hipertensi, diabetes, peradangan serta proses degeneratif.

Dr Yohanna Kusuma dalam seminar bertema Deteksi Serta Penanganan Dini Serangan Stroke dan Jantung “di RS Royal Taruma Jakarta, menyebutkan, faktor risiko, seperti hiperkolesterolemia, hipertensi, merokok, penyempitan pembuluh darah di leher, ataupun di otak, gaya hidup dan pola makan yang buruk serta penyakit jantung.

Sederetan gejala stroke dikemukakan seperti kesulitan berjalan, kesulitan berbicara, kelemahan satu sisi tubuh, antara lain wajah, muka, kaki, kesulitan melihat (satu atau dua mata) sakit kepala yang hebat, terdapat baal atau kesemutan. Gejala-gejala tersebut ditemukan secara tiba-tiba. Apa terapinya?

Menurut Dr Yohanna yang memiliki Cert Neurosonology WFN-NSRG tersebut, ada 3 jenis terapi: prevensi stroke (pencegahan), terapi segera setelah terjadi stroke, dan post stroke rehabilitasi. Adapun terapi prevensi atau pada saat terjadi stroke: atasi faktor risiko hipertensi, atrial fibrillasi, diabetes, merokok, dan hindari makanan gorengan.

Dr Yohanna memberikan berbagai saran. Kontrol faktor risiko, hindari makanan yang mengandung lemak dan kolesterol tinggi, hindari merokok, olahraga, medical check up secara rutin, cek kolesterol, gula darah, ultrasound pembuluh darah, transcranial Doppler, treadmill, dan echo cardiografi.

Faktor risiko penyakit jantung koroner diutarakan oleh Dr David Ariwibowo. Menurutnya yang harus diwaspadai adalah sakit dada, nyeri, rasa tertimpa beban, dan rasa terbakar di belakang tulang dada yang bisa menjalar ke punggung, bahu, rahang, atau lengan.

Faktor risiko utama adalah hipertensi, diabetes melitus, dan riwayat keluarga. Usia laki-laki sekitar 45 tahun dan wanita diperkirakan 55 tahun.

Bicara tentang makanan lezat dan sehat, dokter Dr Ekky Rahardja berpendapat “you are what you eat”. Paradigma lama yang mengatakan, hidup untuk makan adalah menikmati makanan yang berarti kuantitas, sedangkan paradigma baru mengatakan makan untuk hidup yang berarti menikmati hidup atau berarti kualitas. [Suara Pembaruan]