Bayangkan, Anda punya produk berkualitas tinggi, harganya tidak mahal. Pokoknya, ideal buat konsumen. Tetapi Anda tidak punya distribusi yang baik. Staf penjualan tidak mampu memberikan pelayanan yang baik. Jadwal produksi sering terlambat. Tak lama kemudian, Anda bingung karena produk Anda tidak laku. Anda pun bertanya, kenapa?

Sebaliknya, banyak situasi yang justru terbalik. Produk kompetitor mungkin biasa-biasa saja. Harganya juga jauh lebih mahal. Lucunya, produk tersebut justru lebih laris. Malah orang rela antre untuk membeli. Kok, bisa? Setelah diurut-urut, ternyata pelayanannya jauh lebih baik. Orang selalu puas dengan pelayanan yang diberikan. Percaya atau tidak, pelayanan seringkali menjadi “the missing link” pada perusahaan.

Seorang manajer penjualan yang saya kenal punya daftar favorit menginap di hotel-hotel tertentu di berbagai kota. Ketika saya teliti daftarnya, ternyata ia tidak loyal menginap hanya pada satu hotel tertentu.

Nah, pas saya konfrontasikan, dengan enteng ia menjawab, “Habis, pelayanan mereka tidak konsisten. Buat saya, yang menghabiskan waktu lebih dari 100 hari dalam setahun berjualan keliling Indonesia, hotel layaknya rumah kedua. Yang saya cari bukan merek hotel ternama atau fasilitas serba bintang, melainkan pelayanan yang membuat saya betah dan tenteram. Itu saja. Sangat sederhana. Buat apa saya menginap di tempat mewah, tapi hati saya mangkel karena pelayanannya yang jelek?” Ini testimoni penting, tentang betapa pentingnya pelayanan itu.

Pelayanan menjadi “tali pusar” terpenting yang seringkali didengungkan dan dipropagandakan, tetapi lemah dalam aplikasi dan pengamalan. Manajemen seringkali juga ragu dalam menanamkan investasi yang serius untuk memperbaiki pelayanan. Upaya melakukan inovasi seringkali juga sangat minim. Pokoknya, pelayanan itu sering sekali dikhotbahkan, tapi prakteknya kerap terabaikan.

Satu hal yang sangat menyulitkan dalam pelayanan adalah masalah emosi. Seseorang bisa saja diberikan pelatihan dan pendidikan tentang sebuah sistem pelayanan. Malah sampai dibekali petunjuk dan standard of operation atau SOP. Tetapi, kalau hatinya tidak pas dalam melayani, pelayanan itu menjadi hambar.

Keahlian melayani atau service skills bisa dididik dan dilatih, tapi bagaimana dengan emosi? Pernah sekali, saya melihat Mpu Peniti mendidik pembantu rumah tangganya membuat kopi. Resep dan cara membuat kopi sudah ditulis besar-besar dengan spidol. Para pembantu juga sudah dilatih berkali-kali, tapi tetap saja rasa kopi tidak pernah konsisten.

Mpu Peniti dengan sabar menjelaskan bahwa setiap kali mereka membuat kopi, harus mereka lakukan dengan sepenuh hati. Mulai memasak air, memasukkan takaran kopi, plus gula, hingga mengaduknya dengan sempurna. Semua harus dilakukan dengan kecintaan penuh. Tanpa itu, hasilnya akan sia-sia. Apa daya, biarpun mereka sudah dinasihati berkali-kali, tetap saja rasa kopi tidak pernah konsisten. Hanya ada satu pembantu yang melakukannya lebih baik dari yang lain. Sehingga akhirnya dialah yang diangkat sebagai ahli membuat kopi oleh Mpu Peniti.

Cerita di atas membuat saya teringat pada almarhum pembantu saya ketika kecil. Mpok Iyem namanya.

Dulu, setiap kali pulang sekolah, saya sering tidak berselera pada masakan yang tersaji di meja. Saya suka minta dibuatkan makanan tambahan. Mpok Iyem biasanya melakukan improvisasi kecil. Ia suka membuat makanan tambahan dengan telur. Mulai telur mata sapi, telur dadar, telur orak-arik, hingga sup telur goreng yang sederhana. Entah kenapa, telur bikinan Mpok Iyem selalu terasa gurih. Telur mata sapi gorengnya pun selalu pas merata. Demikian juga telur dadarnya.

Ketika saya kuliah dan hidup di tempat kos, pelajaran Mpok Iyem saya amalkan. Seringkali dengan bujet terbatas, kita harus memasak sesuatu yang sederhana tapi gurih dan lezat, sehingga kita makan lahap. Akhirnya saya sadar, memasak itu sangat mudah teknik dan skills-nya, tetapi rahasia terbesar adalah apakah kita sanggup melakukannya dengan intuisi dan emosi yang penuh kecintaan. Ini adalah bumbu rahasianya. Sama juga dengan pelayanan.

Edith Wharton, seorang penulis dan novelis terkenal, pernah berkata bahwa kita dapat menebar cahaya dengan dua cara. Pertama, menjadi pelita yang menjadi sumber cahaya itu sendiri. Dan kedua, menjadi cermin yang merefleksikan cahaya itu. Pelayanan yang sempurna membutuhkan dua elemen itu. Pertama, sang pimpinan yang harus menjadi pelita –sumber dari cahaya. Dan kedua, para staf yang mau mendukungnya dan menjadi cermin untuk merefleksikan cahaya itu ke segala penjuru.

Almarhum Bapak M.S. Kurnia, yang mendirikan Hero Pasar Swalayan, pernah menjelaskan kredo “customer is king”. Kata beliau, pelayanan sama dengan pengabdian. Barulah konsumen bisa menjadi raja. Tanpa pengabdian itu, pelayanan akan kehilangan jiwa.

Kafi Kurnia [Intrik, Gatra Nomor 1 Beredar Kamis, 16 November 2006] Copyright © 2002-04 Gatra.com Hangtuah Digital Library