Banyak kisah tentang orang yang bertaubat dan kembali ke jalan Allah. Ada yang dramatis, ada pula yang biasa-biasa saja. Ada yang karena sebab-sebab sepele, ada pula yang melalui proses panjang sebagai hasil pergulatan pemikiran dan pergolakan ruhani. berikut ini adalah kisah orang yang telah sadar, yang ingin agar perilaku buruknya di masa lalu tidak lagi terulang.

Suatu hari, Ibrahim bin Adham yang sehari-hari dipanggil Abu Ishaq kedatangan tamu seorang laki-laki. Setelah menyampaikan berbagai pengakuan dosa dan kesalahannya di masa lalu dan tekadnya untuk bertobat, tamu tersebut ingin mendapatkan resep mujarab agar perbuatan lamanya tidak mudah kambuh. Kepada tamunya, Abu Ishaq menasihatkan, jika kamu mau menerima lima hal serta mampu melaksanakannya, niscaya kemaksiatan tidak akan mampu menyerang dirimu dan kamu tidak mudah dihancurkan oleh kelezatan duniawi.

Tolong beritahukan kepadaku tentang lima hal tersebut, wahai Abu Ishaq, kata lelaki tersebut.

Pertama, bila kamu akan melakukan kedurhakaan kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia, janganlah kamu memakan rizki-Nya! kata Abu Ishaq mengawali nasihatnya.

Lalu, dari mana aku makan, bukankah semua yang ada di bumi ini rizki pemberian-Nya?

Lelaki itu mencoba mengomentari.

Begini, pantaskah kamu memakan rizki-Nya sedangkan pada saat yang sama kamu durhaka kepada-Nya? tandas Ibrahim.

Kedua, apabila kamu hendak berlaku durhaka kepada-Nya, jangan sampai kamu menginjak bumi-Nya! Abu Ishaq melanjutkan keterangannya.

Yang kedua ini lebih berat dari yang pertama. Segala sesuatu yang ada, mulai dari belahan timur hingga belahan barat adalah milik-Nya, lalu di mana aku mau bertempat tinggal? Adakah bumi lain selain bumi-Nya?

Belum selesai lelaki itu bertanya-tanya dalam hatinya, Ibrahim bin Adham melanjutkan penjelasannya, pantaskah kamu memakan rizki-Nya dan bertempat tinggal di wilayah-Nya sedangkan kamu terus menerus mendurhakai-Nya?

Ketiga, lanjut Abu Ishaq, jika kamu hendak melakukan kedurhakaan kepada Allah sedangkan kamu masih memakan rizki-Nya dan bertempat tinggal di wilayah-Nya, sekarang coba carilah tempat yang tak bisa dilihat oleh-Nya. Jika ada tempat seperti itu, silahkan kamu berbuat maksiat sebebas-bebasnya.

Wahai Abu Ishaq, mana mungkin aku dapat menemukan tempat seperti itu, bukankah Dia selalu melihat dan mengetahui segala yang tampak dan tersembunyi? lelaki itu tak sabar mengomentari.

Pantaskah kamu memakan rizki-Nya, bertempat tinggal di wilayah-Nya, sedangkan kamu masih saja durhaka kepada-Nya dalam penglihatan dan pengawasan-Nya?

Keempat, jika malaikat maut datang kepadamu hendak mencabut nyawamu, cobalah kamu meminta kepadanya untuk diberi tangguh beberapa saat agar ada kesempatan bagimu untuk bertobat dengan tobat yang sesungguhnya dan beramal shaleh sebanyak-banyaknya, lanjut Abu Ishaq.

Mustahil ia mau menerima permohonanku, kata lelaki itu.

Demikianlah, kata Ibrahim melanjutkan, kamu tidaklah mungkin akan mampu menangguhkan kematian walaupun sesaat sehingga kamu dapat bertobat sebelum maut menjemputmu. Jika saat kematian sudah tiba, tak ada yang bisa memajukan ataupun mengundurkannya. Dengan demikian, tiada jalan bagimu untuk menyelamatkan diri.

Kelima, jika nanti pada hari kiamat Malaikat Zabaniyah telah datang kepadamu untuk menggiringmu ke neraka, usahakan untuk menolaknya!

Sampai di sini lelaki itu menangis sambil berkata, mereka tak mungkin membiarkanku begitu saja walaupun aku berusaha membela diri dengan berbagai alasan dan argumentasi yang masuk akal.

Jika demikian, bagaimana mungkin kamu mendapatkan jalan keselamatan? tukas Ibrahim mengakhiri dialognya dengan sebuah pertanyaan yang diharapkan dapat dijawab oleh lelaki tersebut dengan jawaban amal, sikap dan perilaku yang benar.

Nukilan kisah yang ditulis dalam berbagai kitab salaf tersebut memberi gambaran kepada kita tentang jalannya orang yang bertobat. Sesederhana apapun pertobatan seseorang pastilah melewati proses panjang dari hasil pergumulan dan pergolakan pemikiran. Ada dialog dalam jiwa, antara nafsu, aqlu dan qalbu. Ada tarik ulur, ada peperangan batin yang mungkin lebih hebat dari perang fisik manapun.

Bagi orang awam dialog batin seperti itu masih perlu bantuan dari orang lain, sebagaimana yang terjadi antara seorang lelaki dengan Ibrahim bin Adham di atas. Akan tetapi bagi mereka yang sudah pada tingkatan tertentu, mereka dapat berdialog dengan gunung, air, angin, langit, dengan malam, siang, dan dengan semua kejadian. Dialog dengan makhluq ciptaan Allah pada dasarnya adalah dialog dengan Allah, karena kita bukan Nabi juga bukan malaikat. Kita adalah manuisa biasa.

Dialog seperti itu dapat mengalirkan berbagai inspirasi, kesadaran, pemahaman baru, dan pencerahan batin. Lebih banyak kita melakukannya, akan menjadi lebih baik dan hasilnya akan memuaskan. Dialog seperti itu dapat melunakkan hati yang sebelumnya keras bahkan lebih keras dari batu. Jika hati sudah lunak, akan mudah menerima kebenaran, mudah menerima nasehat, mudah menerima pengetian. Dalam pergaulan kemasyarakatnya, ia akan terhindar dari sifat sombong, mau menang sendiri, egois, dan semau-maunya sendiri.

Mencerdaskan hati dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu melalui dialog dengan alam dan segala fenomena dan kejadiannya. Kedua, melalui dialog langsung dalam ibadah-ibadah ritual, seperti shalat, puasa, do’a, membaca al-Qur’an, dan dzikir.

Untuk itu ada baiknya jika kita menyiapkan waktu khusus untuk memberi kesempatan yang cukup kepada jiwa untuk mendialogkan berbagai hal. Proses dialog seperti itu dalam al-Qur’an disebut dengan Tabattul, yaitu perenungan yang dalam tentang berbagai hal melalui kontemplasi. Melalui ritual ini diharapkan kita mendapatkan ke dalam pemahaman, pengertian, dan hikmah di balik semua yang nampak. Dengan ilmu kita bisa memahami hal-hal yang nampak, yang kasat mata. Sedangkan melalui hikmah kita bisa menangkap makna di balik segala peristiwa, memahami yang tersirat di balik yang tersurat.

Perintah tabattul sesungguhnya sudah ada sejak wahyu ketiga diturunkan Allah kepada rasul-Nya, yaitu dalam surat al-Muzammil ayat 8:

“Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.”

Dalam berbagai terjemahan, tabattul biasa diartikan dengan beribadat, tapi dalam berbagai tafsir yang mu’tabar, tabattul adalah proses perenungan yang mendalam, yang melibatkan rasio dan rasa sekaligus. Melalu jalan ini diharapkan kita dapat memperoleh hikmah.

Mudah-mudahan kita termasuk ahlul hikmah.•