Jangan pernah menganggap enteng orang hanya karena penampilan. Di Jakarta nan gemerlap ini apa yang terlihat di depan mata bisa bertolak belakang dengan apa yang sebenarnya. Hal itu terasa sekali pada masa-masa mudik Lebaran seperti tahun ini. Mereka yang berpenampilan biasa, bisa membawa pulang rezeki luar biasa.

Ny Sanam mengenakan kaus lusuh setia melayani pelanggannya di warung Tegal (warteg) Ridho Ibu, di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. Panampilannya yang sederhana tak menampakkan bahwa ia adalah sang pemilik warung. Mengawali pembicaraan ia berujar, “Hidup sekarang susah.”

Orang yang mendengar penuturannya pasti yakin bahwa Ny Sanam tengah berkesusahan, hidup penuh beban. Apalagi didukung penampilannya serta kondisi harga kebutuhan pokok terutama bahan makanan dan bahan bakar minyak yang melambung. “Apa-apa mahal, harga gas saja sudah Rp 70.000 lebih. Kalau mau ganti minyak tanah malah lebih mahal lagi jatuhnya dan susah nyari,” kata ibu lima anak ini.

Seperti apa hidup susah versi Ny Sanam? Saat ia bercerita bahwa dua anaknya tengah menyelesaikan pendidikan tinggi dan tiga lainnya sudah mentas alias berumah tangga maka lawan bicara akan meragukan apa arti kesusahannya. Apalagi ketika ia bercerita panjang lebar perjalanan hidupnya di Jakarta dan mengenai kampung halamannya, Tegal.

Ny Sanam merantau ke Jakarta sejak umur 17 tahun atau sekitar tahun 1975-an. Saat itu ia langsung bekerja di warteg. Awalnya ikut kakak-kakaknya kemudian mengontrak hingga akhirnya mandiri, punya usaha sendiri. “Saya sembilan bersaudara. Semuanya usaha warteg di Jakarta,” katanya. Dari kelima anak Ny Sanam, tiga di antaranya buka usaha warteg. Kakak Ny Sanam, bahkan mempunyai 12 anak yang semuanya usaha warteg! Semua warteg dari anggota keluarga ini menggunakan ‘merek’ Ridho Ibu.

Meskipun punya banyak kerabat dengan usaha yang sama, keluarga besar perempuan berambut ikal ini tidak membentuk sebuah perkumpulan atau kegiatan rutin di Jakarta. “Kumpul hanya dilakukan bila ada acara di kampung halaman sebagai tanda bakti kepada orang tua yang ada di kampung,” katanya.

Tanpa perkumpulan bukan berarti tidak ada jalinan erat kekerabatan. Sebuah usaha warteg bisa dibuka dengan memulainya melalui urunan atau semacam arisan. Keuntungannya akan kembali ke peserta urunan. “Kalau sudah dua atau tiga kali tetap merugi maka usaha itu dianggap tak ada masa depan sehingga tak diteruskan,” tambah pemilik warteg beromzet paling kecil Rp 800.000 per hari ini.

Saat ditanya mengenai kampung halamannya saat Lebaran, mata Ny Sanam tampak berbinar-binar. “Tahun ini kelihatannya ramai,” ujarnya mantap.

Lho bukankah sekarang ini adalah tahun sulit, mengapa justru ramai orang pulang mudik?

“Harga bawang lagi bagus, jadi orang pasti pada pulang,” jawabnya.

Ketika tanda tanya makin mengembang, Ny Sanam menuturkan bahwa ia dan sebagian besar kerabatnya, para pemilik warteg, memiliki lahan garapan di Tegal. Luas lahan yang dikelola tidak main-main, bisa mencapai lima hektare. Kakak Ny Sanam bahkan pernah merugi hingga Rp 100 juta saat gagal panen bawang beberapa tahun lalu. Itu berarti usaha para pemilik warteg ini bukan sebatas hitungan juta melainkan sudah puluhan juta dan bahkan ratusan.

Kali ini mereka menanam bawang. Hasil panen yang bagus dan harga yang cukup tinggi itulah yang membuat Ny Sanam senantiasa berbinar.

Keluarga besar Warteg Ridho Ibu sebagian adalah petani. Mereka mengelola usaha di Jakarta tanpa melepas apa yang ada di kampung halaman. Hasilnya luar biasa. Ny Sanam, misalnya, bisa menyekolahkan dua anaknya hingga perguruan tinggi dan memiliki dua rumah di Tegal.

Lalu mengapa keluarga besar Ridho Ibu sampai ke Jakarta bukankah di Tegal ada lahan yang harus digarap? “Di Jakarta banyak uang,” jawabnya.

Pecel Lele

Berbeda dengan warga seperti Ny Sanam yang punya lahan subur di kampung, warga Lamongan, Jawa Timur me-milih merantau karena daerahnya dianggap tidak menjanjikan.

“Harapan menggali rezeki dari bertani di kampung sendiri, tidak memberi arti,” ujar Ketua Forum Silaturahmi Putra Lamongan, Dr Soen’an Hadi Poernomo.

Pendiri Koperasi Pecel Lele ini mengemukakan, warga pesisir Lamongan kebanyakan merantau ke Timur Tengah sebagai TKI. Sedangkan masyarakat pedalaman memilih merantau ke kota berjualan soto atau pecel lele. Bermodal Rp 10 juta sampai Rp 20 juta dan keuletan, mereka membuka usaha.

Omzetnya beragam antara Rp 1 juta – Rp 2,5 juta/hari. Keuntungan bisa sampai Rp 500.000 per hari. Keuntungan itu dibagi juga untuk beberapa orang yang membantu pekerjaan di warung.

Warga Lamongan telah membuka lapak soto di Jakarta sejak 1952. Yang memulai adalah satu keluarga dari Desa Siman, 25 km barat Kota Lamongan, dan kemudian diikuti generasi berikutnya.

Kini, kata Soen’an, terdapat 3.000-an pedagang pecel lele di Jakarta atau 5.000-an di Jabodetabek. Jelas dengan adanya penghasilan, uang tabungan atau selisih keuntungan dan kebutuhan sehari-hari bisa dikirim ke kampung halaman.

“Dibandingkan antara berjualan di Jakarta atau menjadi TKI, kebanyakan menyebut lebih menikmati menjadi pe- dagang di jakarta karena lebih tenang dan pasti,” kata Soen’an.

Bila menghitung kasar dengan pedoman setiap pengusaha pecel lele bisa menabung minimal Rp 50.000 per hari dari keuntungan usahanya maka sebulan sudah ada Rp 1,5 juta atau Rp 18 juta setahun.

Bila angka itu sianggap sebagai rata-rata maka untuk 5.000 pengusaha asal Lamongan akan punya tabungan total sebesar Rp 90 miliar setahun.

Angka itu masuk akal untuk sejumlah profesi informal tertentu seperti warteg dan pecel lele. “Ada juga yang tak seberuntung itu dari sisi penghasilannya,” kata Ketua Umum Asosisasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (AKLI) – DKI Jakarta, Hoiza Siregar. [A-15/R-13/S-26]