Panduan pengobatan hipertensi yang berasal dari luar negeri, misalnya Jepang, disusun berdasarkan tipe orang Jepang. Asupan garam orang Jepang lebih tinggi dari Indonesia, sehingga anjuran untuk mengubah pola hidup bagi pasien hipertensi di Jepang tentu akan berbeda dengan orang Indonesia. [Foto: xanga.com]

Apa yang biasanya dilakukan untuk mengobati pasien hipertensi atau darah tinggi yang mempunyai gangguan ginjal? Atau pasien hipertensi dengan gangguan fungsi jantung? Tentu saja dokter sudah mempunyai prosedur khusus dalam menangani hal tersebut. Tetapi jangan heran bila perawatan yang dilakukan dokter keluarga Anda akan berbeda dengan dokter yang merawat kerabat yang mempunyai penyakit yang sama.

“Saat ini memang tidak ada perawatan yang sama dalam menangani hipertensi di Indonesia. Banyak sekali panduan yang ada di dunia dan dokter mengikuti panduan yang dia yakini,” kata Ketua Perhimpunan Hipertensi Indonesia (PERHI) Arieska Ann Soenarta di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Padahal, tentu saja panduan yang berasal dari luar negeri, misalnya Jepang, disusun berdasarkan tipe orang Jepang. Asupan garam orang Jepang lebih tinggi dari Indonesia, sehingga anjuran untuk mengubah pola hidup bagi pasien hipertensi di Jepang tentu akan berbeda dengan orang Indonesia.

Dengan dasar tersebut, PERHI atau Indonesian Society of Hypertension (InaSH) meluncurkan panduan tentang penanganan hipertensi. Organisasi perhimpunan profesi/seminat ini baru terbentuk atas prakarsa para pengurus Perhimpunan Kardiologi Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) dan Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI).

Rekomendasi

Hasil kesepakatan tersebut dibuat dalam sebuah buku panduan yang diharapkan menjadi panduan di kalangan medis dalam menangani pasien hipertensi. “Diharapkan panduan yang disusun berdasarkan literatur ilmiah dengan mengombinasikan pengalaman dalam menangani pasien hipertensi di Indonesia, dapat meningkatkan kualitas pelayanan pada penderita hipertensi,” kata Ann.

Saat ini Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 28 persen untuk laki-laki dan 37 persen untuk perempuan. Terkait hal itu, menurut Dewan Penasihat PERHI Jose Roesma, panduan itu tidak wajib diikuti oleh seluruh dokter. Sebagai perhimpunan profesi, panduan itu hanya berupa rekomendasi bagi dokter dalam menangani pasien-pasien hipertensi.

Diakui, baru pertama kali ini ada kesepakatan tentang penanggulangan hipertensi. Sekarang ini, masing-masing dokter mempunyai panduan sendiri berdasarkan hal-hal yang dia yakini. Dokter saraf, dokter penyakit jantung, dan dokter penyakit dalam mempunyai panduan sendiri-sendiri. “Di dalam panduan ini, kita coba gabungkan. Kita harapkan dokter umum dan spesialis yang menangani pasien hipertensi dapat memanfaatkan buku panduan ini,” kata Jose yang menjadi ketua tim penyusunan buku panduan itu.

Panduan itu juga dilengkapi dengan jenis-jenis obat generik yang dapat digunakan dalam menangani pasien hipertensi. Dengan demikian bagi doker-dokter yang menangani pasien penerima asuransi kesehatan masyarakat miskin (askeskin) dapat memanfaatkannya.

Selama ini dia mengakui banyak orang berpikir harga obat-obat hipertensi sangat mahal. Apalagi sifat pengobatan hipertensi adalah jangka panjang, bahkan bisa dikatakan seumur hidup. Padahal sudah banyak obat- obat generik yang sangat murah.

“Seperti obat diuretic, per butirnya hanya Rp 25, jadi sangat murah. Tetapi kadang persoalannya, askeskin mempunyai aturan hanya membiayai obat selama 10 hari. Padahal obat hipertensi harus diminum setiap hari. Jadi mungkin harus dicari solusinya,” katanya.

Selain itu, meski sudah tersedia banyak obat murah memang tidak semua pasien mau mendapat obat murah. Sering kali pasien menanyakan kembali mengenai kebenaran resep karena harga yang harus dibayar sangat murah.

Lebih lanjut dijelaskan, hipertensi merupakan penyakit sangat terkait erat dengan faktor keturunan. Dari 10 penderita hipertensi, 9 di antaranya berhubungan dengan faktor keturunan. Dengan demikian, hipertensi terjadi karena faktor genetis dan akan muncul akibat faktor lingkungan yang mendukung. Faktor lingkungan yang dapat memunculkan terjadinya hipertensi adalah rokok, garam, kurang olahraga, dan stres.

Penanganan pertama hipertensi yang dianjurkan adalah mengubah pola hidup. Apabila tidak berhasil, baru digunakan obat untuk menurunkan tekanan darah.

Panduan

Untuk penanggulangan hipertensi dengan ganguann fungsi ginjal, harus dipastikan dulu, apakah hipertensi menimbulkan gangguan fungsi ginjal atau pun gangguan penyakit ginjalnya yang bisa menimbulkan hipertensi.

Hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal, pada keadaan ini, penting diketahui derajat gangguan fungsi ginjal, (CCT) , kreatinin dan derajat proteinuri. Pada CCT kurang dari 25 mml per men diuretic, golongan thiazid (kecuali metolazon) tidak efektif.

Pemakaian golongan angitensin, converting enzymbitor (ACE) dan angitensin reseptor bloker (ARB) perlu memperhatikan penurunan fungsi ginjal dan standar kalium. Pemakaian golongan b bloker dan calcium cannel bloker (CCB) relatif aman.

Hipertensi akibat gangguan ginjal, adrenal pada gagal ginjal, di mana pada gagal ginjal terjadi penumpukan garam yang membutuhkan penurunan asupan garam/dioretik golongan furosemid- dialysis.

Jose mengakui penderita hipertensi sering tidak menyadari penyakit yang dideritanya karena tidak menunjukkan gejala. Hipertensi biasanya baru disadari setelah muncul gangguan pada organ lain, seperti gangguan fungsi jantung atau gangguan koroner, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi kognitif atau stroke. Tidak jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja waktu pemeriksaan kesehatan rutin atau ketika pasien datang dengan keluhan lain.

“Tetapi jangankan di Indonesia, di negara maju seperti Amerika Serikat saja, hanya 70 persen penderita darah tinggi yang sadar bila dirinya terkena hipertensi. Dari jumlah itu, hanya 30 persen saja yang mendapat pengobatan. Artinya, hanya 3 dari 10 orang hipertensi yang benar-benar berobat,” katanya. [A-22]