Seorang arif melihat setan dalam keadaan telanjang di tengah-tengah
masyarakat.
“Hai makhluk yang tak punya malu, mengapa kamu telanjang di hadapan
manusia?” tegur sang arif. “Mereka bukan manusia, mereka kera.”
Sesungguhnya sudah sejak lama Al-Ghazali menulis dalam Ihya`,
Dzahaban naas wa baqiyan nasnaas (Telah pergi manusia, yang tertinggal hanya kera)
“Jika kamu ingin melihat manusia, ikutlah aku ke pasar,” lanjut sang setan.

Orang arif itu lalu pergi bersama setan ke pasar. Sesampainya di
pasar, setan itu menjelma seorang laki-laki dan langsung menuju ke
toko yang paling besar. Toko itu hanya menjual permata yang berkualitas tinggi dengan harga yang amat mahal.

“Coba lihat permata itu,” kata setan kepada pemilik toko sambil menunjuk permata yang paling besar. Pemilik toko mengambil permata itu lalu menyerahkannya kepada setan.
Ketika permata berpindah ke tangan setan, pemilik toko mendengar
muadzin menyerukan: hayya `alash sholaah (Marilah salat)
Pemilik toko segera mengambil kembali permatanya.
“Kamu pasti setan. Tak ada yang datang pada waktu seperti ini kecuali
setan,” kata pemilik toko.
Kemudian ia mengusir si setan. Setelah setan pergi, ia lalu
menghancurkan permata itu dengan batu.
“Permata ini tidak ada berkahnya,” kata pemilik toko. Kemudian ia keluar untuk salat.

Allah berfirman:
“Laki-laki yang perniagaan dan jual beli tidak dapat melalaikannya
dari mengingat Allah.” (QS An-Nur, 24:37)
Dalam surat Al-Muzzammil, Allah menyejajarkan para pedagang dengan
orang-orang yang berjihad di jalan Allah.
Dan orang-orang yang berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah,
dan orang-orang lain yang berperang di jalan Allah. (QS Al-Muzzammil,
73:20)

Perdagangan untuk mencari kesejahteraan di dunia tidaklah tercela.
Sebaik-baik urusan dunia adalah yang dapat menjadi tunggangan menuju
akhirat. Adapun yang tercela adalah jika kita selalu tenggelam dalam
urusan keduniaan, hati kita selalu terikat pada dunia sehingga kita
melalaikan hak-hak dan perintah-perintah Allah. Yang terpuji adalah
hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan. Hidup berlebih-lebihan
membuat seseorang terlambat masuk surga.

Seorang bermimpi melihat Malik bin Dinar berlomba-lomba dengan
Muhammad bin Wasi’ menuju surga. Ia menyaksikan bahwa Muhammad bin
Wasi` akhirnya dapat mendahului Malik bin Dinar. Orang itu kemudian
bertanya mengapa demikian kejadiannya, karena menurut perkiraannya
Malik bin Dinar bakal menang. Kaum salihin menjawab bahwa ketika
meninggal dunia Muhammad bin Wasi’ hanya meninggalkan sepotong
pakaian, sedang Malik meninggalkan dua potong pakaian.

Jika seorang arif seperti Malik bin Dinar dapat tertinggal hanya
karena pakaian, lalu bagaimana dengan kita. Lemari kita penuh dengan
pakaian, dan kita pun masih merasa belum cukup.

Ya Allah, jadikanlah kami puas
dengan rezeki yang Engkau karuniakan.
Berkahilah apa yang telah Engkau berikan.
Dan jangan jadikan (bagi kami) dunia sebagai
puncak perhatian dan pengetahuan. (I:511)

Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan bin Abdurrahman Asseqaf, Tuhfatul
Asyraf, Kisah dan Hikmah