Belum lama saya mengenalnya, baru beberapa hari yang lalu saat saya
mengantar seorang teman untuk mengganti kacamatanya. Pak Burhan,
usianya sudah kepala empat, ia mengaku sudah dua puluh lima tahun
menjalani profesi sebagai penjual kaca mata, “Optik berjalan,”
istilahnya. Tetapi pertemuan yang hanya satu hari dan tidak
disengaja itu seolah membuat saya merasa baru saja bertemu teman
lama yang teramat saya rindui. Secara fisik, saya memang baru
bertemu kali itu. Dan memang bukan sosoknya yang saya rindui,
melainkan apa yang baru saja diutarakannya tentang sekelumit
pengalamannya mencari nafkah sebagai penjual kaca mata.

Bermula dari teman saya yang memaksa saya untuk ikut bersamanya
memesan kacamata. Saya harus ikut, katanya. Sementara ia tak
menjelaskan maksud `paksaannya’ itu, kecuali satu kalimat, “kamu
akan mendapat satu pelajaran lagi”. Tak perlu berpikir lama, saya
pun mengiyakan ajakannya. Jika berkenaan dengan soal pembelajaran,
tak ada kata penolakan untuk urusan satu ini.

Enam ratus ribu, biaya yang harus dikeluarkan teman saya untuk satu
kacamata barunya. Baginya, angka sebesar itu tidak masalah, karena
ia akan mendapat penggantian dari kantornya. “Pak Burhan, kita kan
sudah langganan. Tolong dibuatkan kwitansinya satu juta ya pak,
nanti saya kasih seratus ribu buat bapak,” tak menyangka, kalimat
itu yang keluar dari mulut teman saya saat ia menyodorkan enam ratus
ribu untuk pembayaran kacamatanya.

Dahinya berkerut, matanya mengerenyit memandang tajam ke arah teman
saya. Ia seperti tengah bertanya-tanya, benarkah permintaan barusan
keluar dari langganannya yang satu ini? “Apa saya tidak salah dengar
pak? Bukankah bapak sudah tahu sikap saya untuk hal ini?” orang di
sebelah saya yang baru saja memesan kacamata hanya menyeringai,
kemudian terkekeh kecil. Kemudian ia bangkit dan memeluk Pak
Burhan, “Ternyata, Pak Burhan sekarang tidak berubah dengan Pak
Burhan dua tahun lalu, saat pertama kali saya memesan kacamata lewat
bapak,” ujar teman saya yang ternyata hanya menguji Pak Burhan.

Dua puluh lima tahun ia menjalani profesinya sebagai optik berjalan,
tidak bisa dibilang cukup penghasilan yang bisa diperolehnya. Untuk
pesanan satu kacamata, tak jarang ia hanya mendapat keuntungan dua
puluh lima ribu rupiah, walau pun sesekali ia merasakan keuntungan
empat kali lebih besar dari itu. “Yah, nggak sebulan sekali pak,”
ujarnya singkat. Dalam seminggu paling banyak dua pesanan kacamata
yang diterimanya, bahkan kadang tak satupun ia mendapat pesanan
dalam satu pekan.

Namun, keadaan yang semakin menghimpitnya itu ternyata tak pernah ia
jadikan alasan untuk menerima tawaran untuk membuat kwitansi diluar
kewajaran. “Banyak pak yang minta saya bikin kwitansi semacam itu,
selalu saya tolak. Duitnya nggak seberapa, tapi dosanya itu…”
menjawab pertanyaan saya, berapa banyak langganannya yang meminta
jumlah pembayarannya dilebihkan dalam kwitansi.

“Bapak tidak takut langganannya akan beralih ke yang lain?” tanya
saya disambutnya dengan seringai tawanya yang sedikit
tertahan. “Yang saya tahu pak, tangan kanan itu tempatnya tetap di
kanan, nggak pernah pindah ke kiri.” Ia memperjelas kalimatnya,
bahwa kebenaran nggak akan pernah ditinggalkan, dan menurutnya,
justru semakin banyak pemesan kacamata yang datang kepadanya.
Padahal ia tidak pernah mengenal sebelumnya. “Itu di luar langganan,
kalau yang sudah langganan sih pasti datang kesini, seperti teman
bapak ini,” tawanya mulai lepas.

Pak Burhan, dibalik perawakannya yang kecil, kurus dan berkulit
hitam itu tersimpan hati yang jernih, yang didalamnya terukir indah
kejujuran yang senantiasa terawat indah. Dan teman saya benar, saya
baru saja mendapati sebuah kenyataan, bahwa kejujuran ternyata belum
benar-benar mati.

Bayu Gawtama