Johny Setiawan membuat mata dunia tercengang dengan penemuan planet pertama yang mengelilingi bintang baru TW Hydrae.
PENEMUAN itu sangat spektakuler karena dari 270 planet di luar tata surya yang telah ditemukan astronom dalam 12 tahun terakhir, tak satu pun planet yang muncul dari bintang muda.
Johny yang memimpin tim peneliti di Max Planck Institute for Astronomy (MPIA), Heidelberg, Jerman itu menemukan planet pertama yang disebut TW Hydrae b dan bintang baru TW Hydrae dengan menggunakan teleskop spektrograf F EROS sepanjang 2,2 meter di La Silla Observatory, Chile.
”Ketika kami mengamati kecepatan lingkaran gas TW Hydrae, kami mendeteksi sebuah variasi periodik yang tidak berasal dari aktivitas TW Hydrae. Kami mengamati kehadiran sebuah planet baru (TW Hydrae b),” ungkap Johny kepada SINDO tadi malam. Planet baru yang ditemukan itu memiliki bobot sekitar sepuluh kali berat Planet Yupiter, planet terbesar dalam Sistem Tata Surya.
Planet baru itu mengorbiti TW Hydrae dalam waktu 3,56 hari dengan jarak sekitar 6 juta kilometer. Ini dapat disamakan dengan 4% jarak antara Matahari dan Bumi. Dengan penemuan tim yang dipimpin Johny tersebut, peneliti dapat membuat kesimpulan penting tentang waktu pembentukan planet.Sejumlah pertanyaan pelik yang selama ini dihadapi peneliti, seperti bagaimana dan di mana sistem planet terbentuk?
Bagaimana arsitektur planet? Seberapa lama proses pembentukannya? Bagaimana posisi planet-planet seperti bumi di Galaksi Bima Sakti? Akan segera terjawab. Johny menyadari pentingnya penemuannya tersebut. Dia menjelaskan, bagaimana planet yang baru berumur 8–10 juta tahun (sekitar 1/500 tahun umur Matahari) itu sebagai sebuah kejutan di Tahun Baru ini.
Peneliti lain dalam tim Johny menjelaskan bahwa pihaknya tidak salah menyimpulkan bahwa planet baru itu memang muncul. ”Untuk menghindari salah tafsir atas data, kami telah menginvestigasi seluruh aktivitas yang mengindikasikan TW Hydrae b. Tapi karakteristik planet baru ini sangat berbeda dari perputaran gas di lingkaran utama bintang baru itu. Mereka lebih stabil dan memiliki periode yang pendek,” papar Ralf Launhardt, koordinator program penelitian planet luar tata surya di sekeliling bintang-bintang muda.
Planet terbentuk dari gas dan debu dalam sebuah cakram yang berputar pendek setelah kelahiran sebuah bintang. Tidak keseluruhan proses terbentuknya planet baru ini dipahami pakar. Meski demikian, penemuan TW Hydrae b menyediakan teori baru tentang pembentukan planet.
Berdasarkan studi statistik, Johny memperkirakan rata-rata keadaan cakram gas dan debu itu akan membentuk planet dalam waktu maksimal 10–30 juta tahun. Johny menandaskan, penemuan TW Hydrae b merupakan bukti langsung bahwa pembentukan sebuah planet raksasa tidak bisa lebih lama dari usia bintang yang diorbitinya, 8–10 juta tahun.
”Ini merupakan penemuan paling luar biasa dan spektakuler dalam studi planet-planet di luar tata surya. Untuk pertama kali, kita telah menemukan langsung bahwa planet-planet terbentuk dalam lingkaran cakram. Penemuan TW Hydrae b membuka jalan untuk mengaitkan evaluasi lingkaran cakram dengan proses pembentukan dan migrasi planet,” papar Thomas Henning, direktur Planet and Star Formation Department di MPIA.
Johny memaparkan, peneliti di MPIA kini sedang mengembangkan peralatan generasi baru untuk mendeteksi planet-planet dengan teknik berbeda. Misalnya dengan instrumen baru astrometri untuk mengamati gerakan sebuah bintang saat melintasi planet di antariksa, serta transit fotometri untuk mengamati planet saat bergerak di depan bintang.
”Kita akan lebih memahami formasi planet saat kita mengetahui keanekaragaman sistem planet. Kita akan mampu menempatkan Sistem Tata Surya kita dalam sebuah konteks universal. Akhirnya, tentu di masa depan kita dapat menjawab pertanyaan: ’apakah kita sendirian di Semesta?” ungkap Johny yang baru tiba di Heidelberg setelah pekan lalu berlibur di Jakarta.
Johny merupakan warga Indonesia yang tinggal di Kota Heidelberg, Jerman. Sebagai seorang astronom yang sedang melakukan riset post doctoral,pria kelahiran 16 Agustus 1974 di Jakarta itu mengaku telah memiliki ketertarikan tentang perbintangan sejak kecil. Alumnus SD St.Fransiskus I dan SMP Immaculata, Marsudirini, itu kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Fons Vitae I, Marsudirini, Jakarta.
Setamat SMA,pada 1992–1993,Johny mengenyam pendidikan pra-universitas di Studienkolleg Heidelberg,Jerman. Johny kemudian mempelajari Fisika di Albert-Ludwigs-Universitat, Freiburg, Jerman, dan mengambil Master di Kiepenheuer-Institute for Solar Physics, Freiburg. Disertasinya di Kiepenheuer-Institute for Solar Physics, Freiburg, berjudul Radial velocity variation of G and K Giants.
Sejak Juni 2003, Johny bekerja sebagai peneliti post-doctoral di MPIA, di Department of Planet and Star Formation (Prof. Dr.Thomas Henning). Wilayah risetnya saat ini meliputi planet-planet di luar tata surya di sekitar bintangbintang muda dan bintang-bintang yang sedang terbentuk. Selain itu,Johny yang tinggal di Bintaro Sektor IX ini juga meneliti atmosfer yang berperan sebagai bintang.
”Secara khusus saya bekerja di sejumlah proyek seperti ESPRI (Pencarian Planet dengan PRIMA/ Phase-Referenced Imaging and Micro-arcsecond Astrometry). Di sini saya menyeleksi dan mengamati karakteristik bintangbintang untuk program pencarian planet,”ungkapnya. Sejak 2003, Johny memimpin penelitian di observasi bintang dan planet ESO La Silla. ”Kami telah sukses mendeteksi sejumlah planet yang saling berhubungan,” ungkap Johny yang memiliki kemampuan bahwa Jerman, Inggris, dan Spanyol.
Di tengah kesibukannya meneliti, Johny meluangkan waktu untuk menyalurkan sejumlah hobi yang beragam, mulai memasak, jalan-jalan, olahraga renang dan fitnes, melukis dengan akrilik, serta bermain piano. (syarifudin/rd kandi)