Kalau remaja laki-laki gampang tergoda menikmati rokok, itu sudah biasa. Laki-laki umumnya akrab dengan barang berasap itu, tetapi entah termakan oleh rayuan iklan, ternyata remaja perempuan Indonesia juga sudah terjerembap rokok yang membahayakan kesehatan tersebut.

Remaja perempuan di Indonesia mempunyai akses yang sangat mudah untuk mendapatkan rokok. Itulah hasil riset yang dilakukan oleh Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS) bekerja sama dengan South-East Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) dengan melibatkan 3.040 responden perempuan berusia 13-25 tahun.

Bahkan hasil riset menemukan sebanyak 34,78 persen responden usia 13-15 tahun mengaku sangat mudah untuk mendapatkan rokok. Persentase ini lebih tinggi dari mereka yang mengatakan sangat sulit mendapat rokok 17,39 persen atau sedikit sulit memperoleh rokok 23,91 persen.

“Salah satu penyebab mudahnya akses remaja untuk mendapatkan rokok adalah belum adanya peraturan pelarangan penjualan rokok pada anak di bawah umur,” kata Tini Hadad, Dewan Eksekutif KuIS.

Ditegaskan, pelarangan tersebut juga akan sia-sia, jika pembatasan ruang untuk merokok tidak ditegakkan, seperti di sekolah, di rumah dan di tempat-tempat umum. Karena itu, masyarakat sebaiknya dilibatkan dalam setiap pembuatan peraturan tentang rokok agar mereka bisa ikut mengawasi penegakan aturannya.

Sampai saat ini memang belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara tegas mengatur upaya perlindungan anak di bawah 18 tahun dari bahaya rokok.

Bahkan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) 23/2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, tidak ada satu pun pasal yang melarang penjualan rokok kepada anak di bawah usia.

Meskipun Pemerintah telah mengesahkan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, sampai saat ini Indonesia belum mempunyai peraturan yang melarang anak-anak merokok. Pasal 59 UU Perlindungan Anak menegaskan, kewajiban Negara untuk melindungi anak dari zat adiktif, namun, tidak ada peraturan yang rinci mengatur langkah-langkah perlindungannya.

Tidak Efektif

Sekalipun telah ada peraturan-peraturan yang memuat pasal pengendalian tembakau, fakta menunjukkan bahwa upaya penegakan hukum masih lemah. Sebanyak 95,14 persen responden di desa dan 90,84 persen responden di kota meyakini bahwa kurangnya penegakan hukum telah menghambat implementasi peraturan kawasan bebas asap rokok. Berbagai kebijakan pemerintah ternyata juga dinilai belum efektif. Sekitar 40 persen responden beranggapan bahwa upaya pemerintah dalam menegakkan peraturan terkait iklan rokok, promosi dan kegiatan sponsor tidak efektif.

Selain itu, 85,14 persen responden di daerah dan 75,89 persen responden di Ibukota menyebutkan tingginya penerimaan sosial sebagai salah satu faktor penghambat pelaksanaan peraturan yang terkait dengan rokok.

Riset yang dilakukan KuIS pada akhir tahun 2007 ini juga membuktikan bahwa banyak anak-anak yang terpapar asap rokok di rumahnya. Sebanyak 51,67 persen responden usia 13-15 tahun menyatakan bahwa mereka kadang-kadang mendapati orang lain merokok di rumahnya, padahal saat itu mereka sedang berada di rumah.

Hal yang lebih memprihatinkan, terdapat 26,13 persen remaja yang menyatakan sering menjumpai orang lain merokok di rumahnya. “Kondisi demikian bisa membuat anak berpikir bahwa merokok adalah hal yang wajar, karena banyak orang yang bisa melakukannya,” jelas Tini.

Sebagian besar responden riset KuIS menyatakan bahwa faktor utama yang mendorong mereka untuk mencoba merokok pertama kali adalah lingkungan atau pergaulan dengan teman. Namun, bagi mereka yang telah kecanduan rokok, dalih untuk melepaskan ketegangan atau stres menjadi alasan utama untuk terus merokok.

Hal yang menarik, sebagian remaja perempuan menyatakan “setuju” 34.4 persen dan bahkan “sangat setuju” 18.78 persen dengan pernyataan bahwa merokok dapat membantu mereka untuk menjaga berat badan. Riset ini juga menemukan adanya korelasi signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen antara pendapat mengenai merokok dengan status responden yang perokok atau bukan perokok.

Mereka yang perokok cenderung memiliki opini yang lebih positif mengenai perilaku merokok. Melihat hal ini, fokus kampanye pengendalian tembakau hendaknya tidak terbatas pada para perokok saja, tetapi juga melibatkan dan memihak pada warga yang menjadi perokok pasif, termasuk anak-anak.

Terus -menerus

Menanggapi hal ini, Tini Hadad kembali mengingatkan tentang perlunya kesadaran. Jadi, upaya untuk mencegah anak-anak dan masyarakat agar tidak merokok harus melibatkan masyarakat, termasuk perokok pasif dan mereka yang terkena dampak negatif rokok. ”Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan adalah pendidikan mengenai bahaya rokok kepada remaja harus dilakukan secara terus-menerus,” tegasnya.

Tini menyarankan agar kampanye antirokok juga jangan sebatas slogan, iklan atau poster saja. “Riset kami membuktikan bahwa hanya kurang dari 20 persen responden yang mengaku tidak pernah melihat atau mendengar pesan-pesan antirokok,” papar Tini. Umumnya, remaja perempuan mengetahui pesan antirokok melalui televisi 81,08 persen di kota dan 95,7 persen di desa) dan poster 63,82 persen di kota dan 58,22 persen di desa. Namun, pesan atau iklan antirokok yang sudah ada dianggap kurang menarik dan tidak mempengaruhi seseorang berhenti merokok.

Temuan riset ini dipresentasikan oleh Anti Hadi, External Relations Manager KuIS, pada pertemuan SEATCA di Kuala Lumpur tanggal 19 Mei lalu. Selain memaparkan hasil riset, dalam kesempatan tersebut, Anti juga berdiskusi dengan para pemerhati masalah rokok se-Asia Tenggara tentang rencana advokasi pengendalian tembakau di tingkat nasional dan regional. [E-5]