Apakah bedanya pergi haji dan pergi rekreasi…?

Pengalaman Pak Taufik Djafri

Hari itu, rumahku tiba-tiba menjadi begitu sunyi dari canda dan tawa. Seharian aku hilir mudik di dalam rumah. Tak karuan rasanya. Antara senang, sedih, haru dan juga gembira. Antara rasa syukur, dan cemas, menjadi satu dalam dada. Demikian pula kiranya yang dirasakan oleh istriku. Bahkan mungkin lebih dari yang kurasa. Hal itu terjadi karena besok pagi aku harus berangkat ke tanah suci untuk melakukan ibadah haji.

Anakku yang masih kecil, yang ketika itu berumur sekitar tiga setengah tahun, mungkin secara rasional tidak mengerti kalau besok pagi sudah harus kutinggalkan sendirian di rumah. Tetapi secara naluriah, rupanya ia merasakan. Seolah-olah ia mengerti kalau akan kutinggal dalam waktu yang cukup lama. Terbukti, sejak pagi ia selalu ‘menempel’ku, seakan-akan tidak mau kutinggalkan. Kemana-mana minta digendong, dipangku, dipeluk dan sebagainya. Sungguh, kemanjaannya melampaui hari-hari biasanya….!

Malam itu udara di luar cukup dingin. Musim kemarau sudah mulai datang. Itulah saat yang membuat hatiku berdegup kencang. Seolah-olah hari itu adalah malam terakhirku berada di lingkungan keluarga. Sebab esok hari adalah hari dan tanggal yang telah ditetapkan oleh panitia pemberangkatan jama’ah haji, kloter dua embarkasi Surabaya.

Begitu suara adzan isya’ dari masjid di kampungku usai, aku sekeluarga melakukan shalat berjamaah di rumah dengan begitu khusyu’. Itulah shalat berjama’ah isya’ untuk terakhir kalinya bersama istri dan anakku, sebelum aku berangkat menunaikan ibadah haji di tahun itu. Sungguh, tak terkatakan indahnya, shalat yang seolah-olah merupakan shalat terakhir itu. Nikmat sekali rasanya…!

Setiap do’a dapat kuhayati dengan begitu nikmat. Dan, Tuhan benar-benar terasa begitu dekat. Cukup lama kami tenggelam dalam khusyu’nya shalat. Panjatan do’a begitu menggetarkan hati. Rintihan qalbu yang amat elok. Seolah bertemu dengan Dzat Yang Maha Indah. Kami pun enggan melepaskan saat-saat seperti itu. Aku merasakan pertemuan dengan Allah Azza wa Jalla dalam dzikir asmaul husna yang luar biasa indahnya.

Selesai shalat, kami berdo’a bersama. Kupandangi terus wajah si kecil mungil yang duduk di sebelahku. Kami bertiga melaksanakan shalat isya’ berjama’ah di kamar. Sebuah kamar yang tidak terlalu luas. Anakku yang masih berusia tiga tahun lima bulan itu, ikut mengamini setiap panjatan do’aku dengan penuh khusyu’. Ia mengikuti ritme do’a-do’aku dengan seksama. Layaknya seorang dewasa yang sudah mengerti akan arti benar dan salah.

Ah.., tak terasa ada setitik air mata yang mau jatuh di sudut mataku. Yang aku tahan supaya tidak ketahuan. Dalam keheningan bisikan do’a itulah terdengar beberapa derap langkah kaki di luar pintu rumah.

Oh.., rupanya beberapa teman, handai taulan, dan keluarga jauh, telah berdatangan. Mereka berkunjung ke rumah sekadar mengucapkan selamat jalan, memberikan do’a restu, semangat, agar aku lebih tenang, dan bisa beribadah dengan sebaik-baiknya. Menjalankan perintah Allah ke tanah suci.

“…Mari silahkan masuk, ayo masuk,…ayo masuk…” kataku.

Wah, ternyata banyak juga tetangga dan teman-teman yang datang. Sebuah keramaian, yang sakral dan khidmat. Suasana riuh, namun bernuansa ibadah terasa sekali malam itu. Teman-teman bercanda, sambil menghibur keluargaku yang akan kutinggalkan esok pagi. Di antara riuh canda kami itu, ada sebuah pesan dari seorang tetangga yang tergolong ‘sepuh’. Kata-kata itu masih melekat dalam ingatan.

“…janganlah khawatir akan segala sesuatunya, baik kekhawatiran dalam perjalanan maupun kekhawatiran terhadap keluarga yang ditinggalkan, sebab engkau bertamu di rumah Allah. Tentu Allah akan menjaga semuanya…”

“…Bertamu di rumah Allah…! “inilah kata-kata pak Ahmad yang terus kuingat. Kata-kata bersahaja, tanpa dibuat-buat. Bahkan disampaikan dengan intonasi yang datar-datar saja…Tetapi kata itu, istilah itu, begitu menghunjam tajam di dalam hatiku.

Bersamaan dengan ‘petuah’ pak Ahmad itu, aku jadi teringat akan peristiwa bersejarah dalam suatu riwayat yang oleh Allah diabadikan di dalam Al-Qur’an al-Karim. Yaitu tentang ketinggian akhlak dan budi mulia seorang sahabat anshar, yang menghormati tamunya, seorang muhajirin.

Suatu ketika, Rasulullah saw menawarkan, siapakah di antara para sahabat yang bersedia menjamu seorang tamu dari kalangan muhajirin. Maka salah satu sahabat anshar menyediakan diri. Dan ia pun menyediakan tempat untuk keperluan bermalam di rumahnya bagi sahabat muhajirin yang dimaksud oleh Rasulullah tersebut.

Ketika telah sampai waktu makan malam, sang empunya rumah menjadi bingung karena ternyata di rumahnya tidak ada makanan sama sekali, kecuali sedikit makanan untuk anaknya saja. Selanjutnya setelah dilakukan musyawarah dengan sang istri, tamupun diajak makan bersama, dalam keadaan gelap gulita.

Suasana rumah itupun kemudian ‘disetting’ oleh pemiliknya, seolah-olah lampu penerangan di rumah sedang kehabisan minyak. Maka makanlah mereka dalam suasana gelap. Si empunya rumah berpura-pura ikut makan, karena memang tidak ada makanan di hadapannya, sedangkan sang tamu memakan makanan satu-satunya yang ada di rumah tersebut.

Keadaan dibuat sedemikian rupa, agar sang tamu tetap bisa makan dengan nikmat. Meskipun pemilik rumah perutnya keroncongan alias kosong, karena seharian tidak kemasukan apa-apa…! Begitu hebatnya, ketinggian budi dan akhlak pemilik rumah tersebut. Dengan hati yang tulus ia mengorbankan dan mengesampingkan keperluannya demi menghormati tamunya.

Dan yang lebih luar biasa adalah perbuatan baiknya itu tidak ingin diketahui oleh tamunya. Subhaanalah. Keikhlasan sang pemilik rumah, serta cara mereka menyambut dan menghormati tamunya tersebut, mendapat penghargaan yang luar biasa dari Allah Swt. Sampai-sampai diturunkan sebuah ayat yang sangat indah dari surat Al-Hasyr.

QS. Al-Hasyr (59) : 9
Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Sungguh tepat, apa yang disampaikan pak Akhmad tadi. Allah Swt sangat menghargai orang yang menghormati tamunya. Keperluan orang lain lebih diutamakan dari pada keperluannya sendiri. Padahal, ia sendiri sangat memerlukan makanan yang hanya sepiring itu, untuk anaknya. Mengingat kejadian itu, aku jadi merenung…

Jika Allah demikian menghargai orang-orang yang menghormati tamunya, maka pastilah Allah pun sangat menghargai dan menghormati tamu-tamu-Nya. Sungguh, sekiranya ada seseorang yang datang bertamu ke ‘rumah’ Allah, pasti Allah akan menghormatinya. Menjaga dan memeliharanya. Dan insya Allah akan menolong dari berbagai kesulitan yang ada. Bahkan, akan memberikan kenikmatan yang tiada terkira.

Mengenang petuah pak Akhmad, aku semakin mantap dan yakin akan pertolongan Allah kepada hambaNya. Allah pasti akan memberikan sesuatu yang terbaik yang dibutuhkan oleh hamba tersebut. Dan saat berhaji, aku bakal menjadi salah satu tamu Allah Swt .

Maka dengan hati penuh harap, aku melaksanakan ibadah haji secara total. Inilah kesempatan untuk bertamu ke ‘rumah’ Dzat Pemilik Alam Semesta Raya, Yang Maha Kaya, Yang Maha Kuat, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Murah, dan Yang Maha Indah.

Dalam suasana hati yang seperti itu, tiba-tiba saja aku teringat kepada seorang teman yang berangkat ke luar negeri. Dia adalah Pak Suryo.. !

Pak Suryo berangkat ke luar negeri dengan keluarganya, anak dan istrinya. Perjalanan itu memakan waktu yang lebih lama dibanding perjalanan musim haji ke tanah suci. Meskipun para tetangganya mengetahui, bahwa pak Suryo sekeluarga esok pagi mau berangkat, suasana rumahnya sungguh sangat beda dengan suasana seseorang yang hendak berangkat ibadah haji.

Keberangkatan pak Suryo, sama sekali tanpa diliputi suasana haru. Padahal beberapa hari sebelumnya mereka sudah pamit kepada para tetangga. Tetapi saat-saat keberangkatannya, tak ada tetangga yang mengantar. Tak ada kerabat yang muncul. Semua berjalan biasa-biasa saja.

Meskipun pak Suryo akan melakukan perjalanan jauh, meninggalkan para tetangga dalam waktu yang cukup lama. Jangankan penghormatan dari para tetangga, saat pak Suryo berangkat naik taksi menuju bandara pun, tak ada tetangga yang keluar rumah, untuk mengantarnya.

Barulah aku sekarang merasakan, betapa tajam perbedaannya, antara pergi rekreasi dan pergi ibadah haji! Begitu nikmatnya pergi haji, dengan insan lain bisa begitu akrab. Tetangga bisa menjadi seperti saudara, yang seolah tak mau berpisah. Apalagi kepada anak-istri atau keluarga yang hendak ditinggalkannya.

Ya, memang pergi ibadah haji tidak sama dengan pergi rekreasi! Ada nilai universal yang begitu indah. Yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang akan berangkat rekreasi. Sebenarnya, jauh sebelum berangkat haji, aku sudah melakukan semacam pengamatan kepada tetangga atau kerabat yang akan pergi ibadah haji, dengan tetangga atau kerabat yang akan melaksanakan perjalanan jauh, tetapi sekadar rekreasi. Jarak tempuh sama-sama jauh, biaya perjalanan sama-sama besar, namun perbedaan ‘hasil’ yang didapat, sungguh menyolok!

Dari sekian perbedaan yang ada, antara pergi rekreasi dan pergi ibadah haji, yang paling signifikan adalah ketika mereka pulang dari perjalanannya masing-masing. Misalnya saja, ada lima puluh orang yang sama-sama pergi ke tanah suci, dan juga lima puluh orang yang pergi berrekreasi ke luar negeri.

Kalau diperhatikan, ‘oleh-oleh’ cerita dari kedua kelompok tersebut, sangat jauh berbeda. Lima puluh orang yang melakukan perjalanan ke tempat rekreasi, cerita mereka tentang perjalanan rekreasinya relatif sama, juga tentang keindahan alam, tentang suasana hati, tentang perbekalan, dan lain-lain, masing-masing orang bercerita dengan cerita yang relatif sama.

Tetapi, lima puluh orang yang pergi menunaikan ibadah haji, satu rombongan, naik pesawat yang sama, menginap di hotel yang sama, beribadah pada masjid yang sama pula, anehnya cerita mereka berlainan semua.

Mengapa? Karena perjalanan haji adalah perjalanan yang bukan sekedar perjalanan jasmani, tetapi lebih pada perjalanan ruhani yang sangat menakjubkan. Sebuah perjalanan yang sangat menggetarkan hati bagi siapa saja yang datang ke tanah suci dengan hati bersih. Setiap orang akan memiliki cerita yang berbeda. Suasana hatinya pun berbeda.

Seluruh perjalanan haji adalah ibadah yang sudah ditetapkan aturan mainnya. Secara jasmani perjalanan itu merupakan napak tilas nabi Ibrahim as dan Ismail as. Tetapi di balik napak tilas fisik itu, tersembunyi suatu pelajaran yang sarat dengan makna-makna kehidupan, yang berkaitan erat dengan kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Ketika pergi rekreasi, seseorang hanya ingin bersenang-senang yang sifatnya sementara saja. Tapi berhaji adalah sebuah perjalanan yang mengandung nilai spiritual yang sangat tinggi. Karena ia merupakan puncak dari rukun islam sebagai dasar dari syariat yang harus difahami dan dijalani. Pergi haji haruslah karena Allah. Bukan karena yang lain.

Ibadah haji bertujuan untuk mendekatkan diri secara total kepada Dzat Penguasa langit dan bumi ini. Dalam perjalanan itu haruslah dihindari perkataan-perkataan yang tak ada guna dan manfaatnya. Setiap jama’ah yang sedang melakukan ibadah haji, tiada henti-hentinya berdzikir dan menyebut asma Allah Yang Maha Tinggi.

Apabila dalam perjalanan untuk rekreasi, para penumpang bus atau pesawat nampak selalu bercanda ria, maka dalam perjalanan haji para jamaah sering tundukkan kepala. Sesekali terlontar kalimat tayyibah dari bibirnya dan kalimat talbiyah sebagai seruan telah datangnya seorang hamba menuju Allah Swt.

“…Subhaanallaah, wal hamdulillaah, wa laa ilaaha illalaahu, allaahu akbar…””…labbaika, allahumma labbaika, labbaika laa syarikalaka labbaiik, innal hamda wa nikmata laka wal mulka, laa syariikalaka…”

Inilah kalimat-kalimat yang bisa menghipnosis para jamaah haji. Dengan membaca kalimat-kalimat ini, hampir dapat dipastikan akan berderailah air mata para jamaah, karena tak kuasa dan tak bisa membendung lagi perasaan haru, bahagia, takut, dan rindu kepada Sang Penciptanya.

Maha suci Engkau Ya Allah. Segala puji bagiMu..,Tiada Tuhan selain Engkau, Engkaulah Dzat Yang Maha Besar itu. Ya Tuhanku, Aku telah datang kepadaMu, ‘tuk memenuhi panggilanMu. Aku telah datang kepadaMu, ‘tuk memenuhi panggilanMu, Yang sudah lama menjadi idaman hatiku. Untuk mengunjungi rumahMu. Baru kini terlaksana, ‘tuk menyempumakan rukun islam ke lima,

TuhanKu. Tidak ada sekutu bagiMu. Segala puji-pujian dan perbendaharaan nikmat, Adalah milikMu semata. Bahkan kekuasaan mutlak ada di tanganMu jua. Tuhanku, Tiada sekutu bagiMu…

Satu hal lagi yang menjadikan perjalanan haji berbeda dengan sekedar bepergian atau rekreasi adalah ketentuan dari Allah Swt yang telah memberlakukan beberapa persyaratan agar haji kita diterima. Ketentuan tersebut adalah :

Dalam melakukan ibadah haji, dilarang rafats. Yaitu mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi, tidak senonoh atau melakukan persetubuhan.
Dalam melakukan ibadah haji, dilarang berbuat fasik.
Dalam melakukan ibadah haji, dilarang berbantah-bantahan
Dalam melakukan ibadah haji, sebaiknya melakukan perbuatan yang baik, sebab perbuatan apa saja akan diketahui oleh Allah Swt.
Dalam melakukan ibadah haji, bekal utama yang harus dibawa adalah bekal taqwa.

QS. Al-Baqarah (2) : 197
Musim (haji) adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang telah menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa saja yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekal-lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. Dan bertaqwalah kepadaKu, hai orang yang berakal.

Selain persyaratan yang sudah tertera dalam surat Al-Baqarah tersebut, Ibadah haji adalah sebuah kewajiban. Terutama bagi meraka yang telah diberi kemampuan. Baik mampu dalam hal biaya, dalam hal kesempatan, atau dalam hal jasmani dan ruhaninya.

Di akhir ayat nomor 197 dari surat Al-Baqarah tersebut di atas, Allah menunjuk kepada orang yang mempunyai akal. Artinya bahwa yang bisa memahami jika taqwa adalah sebaik-baik bekal hanyalah orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang dalam aktivitas hidupnya selalu menggunakan akalnya. Karena hanya orang-orang berakallah yang mampu mengendalikan hawa nafsunya.

Maka kemampuan yang dimaksud oleh ayat berikut ini tentulah di samping mampu dalam hal harta, mampu dalam hal kesehatan, mampu dalam kesempatan, juga harus mampu dalam hal ilmu. Karena melakukan ibadah tanpa bekal ilmu sungguh akan sia-sia dan sering tersesat. Baik dalam hal niat atau dalam proses pelaksanaan ibadah itu sendiri.

Q.S. Ali Imran (3) : 97
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup (mampu) mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Untuk memberikan sebuah gambaran betapa pentingnya ibadah haji, dan betapa haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali mendapatkan hadiah yang sangat indah yaitu surga, maka Rasulullah saw memberikan sebuah motivasi yang sangat kuat pada kita semua tentang nikmatnya haji. Tetapi di sisi lain beliau juga memberikan sebuah peringatan betapa ruginya orang yang tidak cepat-cepat menunaikan ibadah hajinya jika ia telah di beri kemampuan.

Rasulullah saw, bersabda:
Hai semua manusia, Allah telah mewajibkan atasmu untuk haji. Maka berhajilah kalian. Dan siapa yang berhaji karena Allah, lalu tidak berkata atau berbuat keji dan fasiq, ia akan keluar dari semua dosa-dosanya bagaikan ia pada saat dilahirkan oleh ibunya. Dan melakukan ibadah umrah hingga umrah di tahun depan, menjadi penebus dosa yang terjadi di antara kedua umrah itu. Dan haji yang mabrur, tidak ada balasannya kecuali surga.
(HR. Bukhari, Muslim)

Sesungguhnya seorang hamba yang Aku sehatkan badannya, dan Aku luaskan rezekinya, lalu dalam masa lima tahun tidak datang kepadaKu, sungguh ia akan kecewa dan rugi
(Hadits Qudsi, R. Albaihaqi, Ibn Hibban)

Satu pelajaran lagi yang dapat kita petik dari pelajaran haji ini adalah: ternyata badan kita yang sedang sehat ini, lantaran Allah-lah yang berkenan menyehatkannya. Hal itu dikarenakan meskipun kita berupaya dengan berbagai hal, kalau Allah menghendaki kita sakit, maka manusia takkan berdaya untuk menghalanginya. Jika ketentuan ‘waktu sakit’ telah tiba, maka terjadilah sakit.
Karena itulah Rasulullah saw mengingatkan kepada kita semua. Berhati-hatilah terhadap lima perkara, sebelum datang lima perkara lainnya.
Yaitu, kita harus waspada dan jeli menggunakan :
1. Waktu sehat, sebelum datang waktu sakit
2. Waktu muda, sebelum datang waktu tua
3. Waktu kaya, sebelum datang waktu miskin
4. Waktu sempat, sebelum datang waktu sempit
5. Waktu masih hidup, sebelum datang kematian

Ternyata rezeki yang kita dapatkan, yang menjadikannya adalah hanya Allah Swt. Sebab dengan berupaya seperti apapun, jika Allah belum menghendaki, maka suatu rezeki yang dikejar secara bagaimanapun, tetap belum menjadi haknya.

Sekedar untuk mengingatkan diri kita masing-masing, bahwa Allah adalah Sang Pemberi rezeki.

Sungguh, sering kita jumpai ‘misteri’ dalam lingkungan kita. Misalnya ada dua orang yang sama-sama mempunyai kemampuan yang sama, ilmu yang relatif sama, tenaga yang relatif sama, bahkan masing-masing adalah sebagai pekerja keras tak mengenal lelah.

Tetapi sering kita lihat, hasil akhir jumlah rejeki yang didapatkannya ternyata tidaklah sama. Yang satu hasilnya kurang dari yang diharapkan, sedang yang lain hasilnya berlebihan.

Bahkan secara ekstrim, sering kita lihat. Ada orang yang pekerjaannya santai-santai saja, tetapi ia mendapatkan hasil yang melimpah. Sementara ada seorang kawannya yang bekerja mati-matian siang dan malam, dan juga berdo’a tak putus-putusnya. Tetapi ternyata hasil yang dicapai sangat pas-pasan bahkan bisa dikatakan tidak mencukupi kebutuhan-nya.

Itulah hidup! Yang kadang kala nampak misteri. Karena itu sebagai hamba Allah kita harus pandai-pandai memanage hati dan berusaha memahaminya. Sebenarnya ada apa di balik misteri kehidupan itu semua.

Badan yang sehat, rezeki yang luas, ilmu yang tinggi, bukanlah merupakan tujuan akhir, tetapi masih merupakan tujuan antara. Selanjutnya dengan rezeki itu, dengan badan itu, dan dengan ilmu itu, manusia diseru untuk datang kepada Allah untuk mengabdikan dirinya. Menyembah dan beribadah. Demikianlah tujuan Allah mencipta manusia.

QS. Adz-Dzaariyaat (51) : 56
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.