Kalau nira aren (lahang) yang manis itu dibiarkan begitu saja, ia akan
meragi dan berubah menjadi tuak yang kadar etanolnya bisa mencapai 4%
yang kurang lebih sama dengan bir. Nira aren tidak memerlukan ragi,
dia bisa meragi sendiri, berkat sel-sel ragi yang bernama
Saccharomyces tuac yang memang banyak berkecimpung di dalamnya. Tuak
semacam ini sudah konsumsi orang Indonesia sejak zaman Singosari dan
terkenal sebagai legen (legi ialah istilah Jawa untuk manis).

Di Banten dan dataran Sunda legen disebut lahang. Yang menarik belum
ada inovasi untuk membuat legen ini menjadi minumannya para juara
Indonesia. Pedagangnya tetap mempertahan gaya Singosari-an dalam
sistem marketin yaitu di pikul dan dijajakan dalam tabung-tabung bambu
panjang yang disebut lodong atau bumbung. Kalaupun ada sedikit
kemajuan dimasukan ke dalam botol bekas air mineral dan ditawarkan di
tepi jalan bagi pengendara yang sedang melintas.

Untuk terjadinya alkohol nira memerlukan syarat khusus. Dia harus
disekap dalam sebuah wadah dan selama proses tidak boleh kontak
oksigen( anaerob). Prosesnya ini diselenggarakan dalam bumbung yang
tertutup rapat. Tapi menutup rapat ini sering tidak berhasil dalam
dalam pengolahan tradisional, maka proses peragian alkohol itu
berjalan lebih lanjut dengan terbentuknya asam cuka. Lahang kemudian
terasa asam dan kadar alkohol kembali turun.

Namun, kalau tujuannya memang membuat cuka aren, lahang justru harus
dibiarkan begitu saja di udara terbuka. Kurang lebih 8 hari seluruh
nira sudah berubah menjadi cuka.

Di Ambon, untuk mempercepat pembentukan asam cuka, nira dibubuhi
tumbukan biji galoba kusi, Hornstedtia rumphii, sejenis rempah-rempah
Zingiberaceae, yang masih berkerabat dekat dengan kapulaga sabrang.
Prosesnya diselenggarakan dalam wadah tertutup yang dijemur di
matahari, atau dipanasi di dapur.

Setelah disaring dan dibersihkan dari semua kotoran yang mengendap di
dasar wadah, cuka aren boleh dipakai sebagai bumbu masak. Sayang,
kadar asam asetat (zat yang memberi rasa asam pada cuka itu) hanya 3%
saja. Karena itu ia tidak tahan lama disimpan, lalu busuk, sehingga
cuka tak bermutu ini dikata-katai orang se¬bagai “cuka jawa”. Walaupun
demikian, cuka aren tetap laku keras di pasar, karena tidak membuat
sakit perut seperti cuka sintetik yang lebih pekat itu (25% asam
cukanya). Mungkin itulah sebab, selain dipertahankan sebagai bumbu
dalam dapur masakan Jawa, perajin asinan bogor dan pembuat kue Bika
Ambon lebih suka memakai Cuka Jawa ketimbang cuka-cuka lain.

Dulu penyaringan cuka aren dilakukan dengan kain mori saja yang
ternyata kurang kedap rnenahan benih cacing renik Anguillula aceti.
Cacing yang kalau dewasa hanya berukuran 1 mm terbawa benihnya oleh
lahang yang bumbung penampungnya tidak bersih. Untuk meningkatkan mutu
cuka jawa, penyaringan harus di¬lakukan dengan kapas bersih yang
ditaruh padat-padat dalam corong. Maka cairan cuka yang dituang
melalui corong berkapas, cairannya akan lolos tapi benih cacingnya tidak.