biosimiliarDalam beberapa tahun terakhir, banyak dikembangkan obat yang berasal dari produk biologi, yang diharapkan menjadi salah satu andalan teknologi untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit. Obat produk biologis dikenal dengan istilah biosimilar atau disebut juga follow on biologic (FOB), seperti obat protein dan antibodi.

Setelah paten produk orisinal berakhir dan perlindungannya mulai hilang, para produsen generik mulai berlomba mengembangkan produk-produk biologis serupa yang lebih murah dan diklaim sama dengan produk originalnya. Mereka mengambil untung dari semakin banyaknya penggunaan komponen biologik dalam pengobatan.

Namun, menurut Ketua Pengurus Besar Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia (Ikafi), Iwan Dwiprahasto, produk biologis ini mirip, tapi tidak sama dengan produk originalnya. Hal ini dikarenakan proses pengembangan produk biologis sangat kompleks dan rumit, sehingga sulit ditiru dan tidak bisa dikatakan sama persis dalam konteks keamanan, manfaat, dan kualitas.

“Proses produksinya melibatkan proses rekombinasi gen melalui jaringan hidup, sehingga hasilnya tidak akan sama. Jadi, produk biosimilar tidak bisa disebut sebagai produk generik dan penggunaan istilah biogenerik juga tidak tepat,” ujarnya kepada wartawan, dalam diskusi Biosimilar Tinjauan Ilmiah dan Regulasi, bekerja sama dengan Ikafi dan Roche di Jakarta belum lama ini.

Dia mengatakan, produk biologis tidak bisa selalu sama dengan originatornya. Berbeda dengan obat yang dikembangkan melalui sintesis kimia atau generik, obat produk biologis tidak mengenal istilah generik, meskipun kandungan bahan aktifnya diklaim sama atau mirip. Untuk produk biologis, diperlukan data klinis dan nonklinis yang memadai, guna menunjukkan kemiripan manfaat keamanan, dan kualitas dibanding produk inovatornya.

Sedangkan, obat yang dibuat secara kimia atau generik, bentuk mee too-nya cukup mengajukan data bioavailabilitas dan bioekuivalen untuk mendaftarkan diri sebagai obat kopi. “Untuk memproduksi duplikat dari molekul-molekul kimia yang demikian kecilnya saja, sudah sangat sulit, apalagi duplikat dari suatu produk biologis,” katanya.

Perlu Pengujian

Mengingat perlindungan keselamatan pasien harus menjadi target pengembangan sebuah obat dan teknologi kedokteran, maka keamanan, manfaat, dan kualitas biosimilar perlu pengujian secara lengkap. Antara lain, mencakup alur proses produksi, meliputi bahan dasar, kumpulan atau bank sel, data, dan sejarahnya, serta data praklinis, data klinis, dan data pascapemberian izin pemasaran.

Selain itu, dibutuhkan adanya elemen penting seperti materi referensi, sejarah bahan aktif, farmasi (active pharmaceutical ingredient/API) dan akses terhadap pengendalian proses, sehingga dapat secara akurat membandingkan proses-prosesnya. Diperlukan juga publikasi data mengenai metode analisis yang tervalidasi dan data yang terkait dengan pengembangannya.

“Tantangan terbesar biosismilar adalah menjamin keamanan dan manfaatnya bagi pasien, sehingga produsen harus bisa memastikan produk mereka memiliki profit yang sama dengan produk orisinalnya. Pengujian harus menyeluruh, bukan sekadar studi terbatas seperti yang diterapkan untuk produk generik yang berasal dari molekul sederhana,” jelasnya.

Untuk itu, kata Prof Iwan, mesti ada ketentuan mengenai tata cara evaluasi obat produk biologis beserta regulasinya. Tujuannya, untuk memastikan adanya peraturan yang jelas dan transparan mengenai pengembangan, izin, dan prosedur pascapemberian izin untuk biosimilar. “Ini dalam upaya melindungi masyarakat yang menggunakan obat untuk tujuan pencegahan dan penyembuhan penyakit,” ujar Prof Iwan.

Lembaga regulator obat Uni Eropa, EMEA, yang pertama menetapkan landasan hukum yang jelas menyangkut biosimilar ini. Di kawasan Asia, beberapa negara juga sudah meluncurkan peraturan serupa, seperti Malaysia, Singapura, dan Jepang.

Di Indonesia, Ikafi bekerja sama dengan Badan Pengaman Obat dan Makanan (BPOM) baru selesai merampungkan rancangan peraturan mengenai biosimilar tahun ini, dan akan segera berlaku di Indonesia. Proses penyusunan peraturan tersebut telah dimulai sejak 2007, menyusul penyelenggaraan konferensi internasional biosimilar yang digelar di Jakarta belum lama ini.

“Badan perizinan obat di berbagai negara terus berupaya menyusun kebijakan yang tepat, untuk mengevaluasi obat-obat biosimilar, karena produk ini akan banyak mempengaruhi pasar obat biologis dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan,” katanya.

Dia mengatakan, dengan selesainya penyusunan rancangan peraturan tentang biosimilar oleh BPOM dan Ikafi, maka Indonesia masuk ke jajaran negara-negara yang telah memiliki acuan bagi produk biosimilar.

Dengan ditetapkannya paduan evaluasi obat biosimilar ini, maka diharapkan proses penilaian dan penapisan terhadap obat produk biologis menjadi jelas, transparan, dan akuntabel. Sekaligus menjadi dasar regulasi bagi industri farmasi yang mengajukan obat produk biosimilar di Indonesia. [DMF/Suara Pembaruan]