ORANG YANG SHALAT BERPALING SEDIKIT DARI QIBLAT, APAKAH HARUS MENGULANGI SHALATNYA?

oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apabila orang yang shalat telah mengetahui ia berpaling sedikit dari qiblat, apakah dia mengulangi shalatnya?

Jawaban
Berpaling sedikit dari qiblat tidaklah membahayakan ini berlaku bagi orang yang jauh dari Masjidil Haram. Karena Masjidil Haram merupakan qiblat bagi orang yang shalat karena didalamnya ada Ka’bah. Oleh karena itu para ulama berpendapat : Barangsiapa yang dapat menyaksikan Ka’bah maka wajib baginya untuk menghadap langsung ke Ka’bah, maka orang yang shalat di Masjidil Haram menghadap kearah Ka’bah, kemudian tidak menghadap langsung ke Ka’bah, dia harus mengulangi shalatnya karena shalatnya tidak sah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Palingkan mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya? [Al-Baqarah : 144]

Kalau orang tersebut jauh dari Ka’bah tidak bisa menyaksikannya walaupun masih berada di wilayah Makkah wajib baginya untuk menghadap ke arah qiblat, tidak mengapa berpaling sedikit, oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada penduduk Madinah.

“Diantara Timur dan Barat adalah Qiblat?[1]

Karena penduduk Madinah menghadap ke Selatan maka setiap apa yang diantara Timur dan Barat menjadi Qiblat bagi mereka. Demikian pula misalnya kita katakan kepada orang yang shalat menghadap ke Barat bahwa diantara Selatan dan Utara adalah Qiblat.

HUKUM SHALAT BERJAMA’AH TIDAK MENGHADAP KIBLAT

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukumnya shalat berjama’ah menghadap selain Qiblat/tidak menghadap Qiblat?

Jawaban
Masalah ini tidak lepas dari dua hal.
[1]. Mereka berada di suatu tempat yang tidak memungkinkan untuk mengetahui arah qiblat, seperti dalam safar, langit mendung sehingga tidak ada petunjuk ke arah qiblat, apabila mereka shalat menghadap kearah mana saja kemudian apabila mereka mengetahui bahwa mereka shalat tidak menghadap qiblat tidak apa-apa bagi mereka (shalatnya syah), karena mereka sudah bertakwa kepada Allah menurut kemampuan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Bertakwalah kepada Allah semampu kamu? [Ath-Thaghabun : 16]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah semampu kalian? [2]

[2]. Mereka berada pada suatu tempat yang memungkinkan bagi mereka untuk bertanya tentang qiblat, tetapi mereka lalai dan tidak mau bertanya, dalam hal ini mereka mengulangi (mengqadha) shalat yang mereka kerjakan dengan tidak menghadap qiblat. Sama saja apakah mereka mengetahui kesalahan mereka sebelum waktu shalat habis atau setelahnya, karena mereka dalam masalah ini bersalah dan disalahkan, disalahkan dalam msalah qiblat, karena mereka tidak sengaja berpaling dari qiblat tetapi mereka bersalah dalam kelalaian mereka untuk menanyakan tentang qiblat. Seyogyanya kita mengetahui bahwa berpaling sedikit dari arah qiblat tidaklah membahayakan.
Seperti berpaling kekanan atau kekiri sedikit berdasarkan sabda Rasulullah kepada penduduk Madinah.

“Diantara Timur dan Barat adalah Qiblat?[1]

Orang-orang yang berdomisili di sebelah utara dari Ka’bah kita katakan kepada mereka, di antara Utara dan Selatan adalah qiblat, berpaling sedikit dari qiblat tidak apa-apa

Dan di sini ada masalah yang ingin saya tekankan yaitu : Barangsiapa yang berada di Masjidil Haram melihat Ka’bah maka wajib baginya untuk menghadap langsung Ka’bah tidak menghadap ke arahnya, karena apabila berpaling dari Ka’bah maka ia belum menghadap qiblat. Saya melihat kebanyakan orang-orang di Masjidil Haram tidak menghadap langsung ke Ka’bah, mereka membuat shaf bundar memanjang, maka sesungguhnya kebanyakan dari mereka tidak menghadap langsung ke Ka’bah. Ini merupakan kesalahan besar, wajib bagi orang Islam memperhatikannya, karena kalau mereka shalat dalam keadaan yang demikian itu berarti mereka shalat tidak menghadap qiblat.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, Edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Ibadah, Penerjemah Furqan Syuhada, Penerbit Pustaka Arafah]

__________

[1]. HR Tirmidzi, Kitabu Ash-Shalat, bab Ma’ Ja’a Anna Ma Baina Al-Masyriq wal Maghrib Qiblat, dan Ibnu Majah (1011) dan Hakim, dishahihkan dan disepakati oleh Azh-Zhahabi (Al-Mustadzrak 1/225] [2]. HR Bukhari, Kitabu Al-Iqtisama bi Al-Kitabi wa As-Sunnati, bab Al-Iqtida’ Bi Sunnati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Muslim, Kitab Al-Haj, bab Fardhu al-Hajj

sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1521/slash/0