Oleh: Ustadz Anis Matta

“De’… de’…. Selamat
Ulang Tahun…” bisik seraut wajah tampan tepat di hadapanku.
“Hmm…” aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur
kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang
terlontar
dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.

Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun.
Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami lima
bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa.
Tak ada
kado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku
semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua
seperti
biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan selalu ia mengecup kening,
pipi,
terakhir bibirku. Setelah itu
diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari
istimewaku.
Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku
seperti putri hari ini cuma memandangku.

Alat shalat kubereskan dan aku kembali
berbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, dan
mengucapkan. Happy Birthday to Me… Happy Birthday to Me…. Bisik
hatiku
perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang
tahunku.
Kini aku sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih
dari
ini. Aku berhak punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke
mana-mana
dengan kendaraan. Bisa membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis
saat
aku hamil begini, bisa mengajakku menginap di sebuah resort di malam dan
hari
ulang tahunku. Bukannya aku yang harus sering keluar uang untuk segala
kebutuhan sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar. Sampai
kapan
aku mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.

“De…. Ade kenapa?” tanya suamiku
dengan nada bingung dan khawatir.

Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu
membuka mata. Matanya tepat menancap di mataku. Di tangannya tergenggam
sebuah
bungkusan warna merah jambu. Ada
tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan itu
enggan
disodorkannya kepadaku.

“Selamat ulang tahun ya De’…”
bisiknya lirih. “Sebenernya aku mau bangunin kamu semalam, dan ngasih
kado
ini… tapi kamu capek banget ya? Ucapnya takut-takut.

Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu.
Dari
mana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur.
Aku buka
perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang
menggenang.

“Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini.
Nnnng… Nggak bagus ya de?” ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke
lantai.

Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan
bunga pink dan ungu warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu
bergambar
Mickey mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang
diberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tiba
aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.

“Jelek ya de’? Maaf ya de’… aku nggak
bisa ngasih apa-apa…. Aku belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin
aku ya
de’…” desahnya.

Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan
siangnya untuk tas ini. Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya.
Aku rasakan
tetesan air matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di
hadapanku.
Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi… mengapa sepicik itu
pikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya
karuniamu masih
aku pertanyakan.

“A’ lihat aku…,” pintaku padanya.
Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di matanya. Sejuk dan
menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan
dirinya
menyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran
kasih
dan ketulusan itu. “Tahu nggak… kamu ngasih aku banyaaaak banget,”
bisikku di antara isakan. “Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang
sama
istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih
surga-Nya.
Kamu ngasih aku dede’,” senyumku sambil mengelus perutku. “Kamu
ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku
mama….”
bisikku dalam cekat.

Terbayang wajah mama mertuaku yang
perhatiannya setengah mati padaku, melebihi keluargaku sendiri. “Kamu
yang
selalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain mana ada suaminya yang
selalu
telepon setiap siang,” isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian
tangisnya semakin kencang di pelukanku.

Rabbana… mungkin Engkau belum memberikan
kami karunia yang nampak dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang
pernah
aku alami bersama suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku
akan
sebuah rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke,
fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia.
Mengapa
aku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan
nilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa saja yang ia berikan
untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi pemberiannya saat
kami baru
menikah… Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana…