Meski Ramadhan bulan adalah bulan ampunan, untuk menyambut bulan suci
Ramadhan yang kini ‘menyapa’ kita, di bawah ini kami sarikan 16 kekeliruan
umum yang sering dialami umat Islam selama Ramadhan

Hanya orang yang tidak tahu dan enggan saja yang tidak segera bergegas
menyambut bulan suci ini dalam arti yang sebenarnya, lahir maupun batin.
“Berapa banyak orang yang berpuasa (tapi) tak memperoleh apa-apa dari
puasanya selain rasa lapar dan dahaga belaka”. (HR. Ibnu Majah & Nasa’i)

Namun, setiap kali usai kita menunaikan ibadah shiyam, nampaknya terasa
ada saja yang kurang sempurna dalam pelaksanaannya, semoga poin-poin
kesalahan yang acap kali masih terulang dan menghinggapi sebagian besar
umat ini dapat memberi kita arahan dan panduan agar puasa kita tahun ini,
lebih paripurna dan bermakna.

1. Merasa sedih, malas, loyo dan tak bergairah menyambut bulan suci
Ramadhan

Acapkali perasaan malas segera menyergap mereka yang enggan menahan rasa
payah dan penat selama berpuasa. Mereka berasumsi bahwa puasa identik
dengan istirahat, break dan aktifitas-aktifitas non-produktif lainnya,
sehingga ini berefek pada produktifitas kerja yang cenderung menurun.
Padahal puasa mendidik kita untuk mampu lebih survive dan lebih memiliki
daya tahan yang kuat. Sejarah mencatat bahwa kemenangan-kemenangan besar
dalam futuhaat (pembebasan wilayah yang disertai dengan peperangan) yang
dilancarkan oleh Rasul dan para sahabat, terjadi di tengah bulan Ramadhan.

Semoga ini menjadi motivator bagi kita semua, agar tidak bermental loyo &
malas dan tidak berlindung di balik kata “Aku sedang puasa”.

2. Berpuasa tapi enggan melaksanakan shalat fardhu lima waktu

Ini penyakit yang –diakui atau tidak– menghinggapi sebagian umat Islam,
mereka mengira bahwa Ramadhan cukup dijalani dengan puasa semata, tanpa
mau repot mengiringinya dengan ibadah shalat fardhu. Padahal shalat dan
puasa termasuk rangkaian kumulatif (rangkaian yang tak terpisah/satu
paket) rukun Islam, sehingga konsekwensinya, bila salah satunya
dilalaikan, maka akan berakibat gugurnya predikat “Muslim” dari dirinya.

3. Berlebih-lebihan dan boros dalam menyiapkan dan menyantap hidangan
berbuka serta sahur

Ini biasanya menimpa sebagian umat yang tak kunjung dewasa dalam menyikapi
puasa Ramadhan, kendati telah berpuluh-puluh kali mereka melakoni bulan
puasa tetapi tetap saja paradigma mereka tentang ibadah puasa tak kunjung
berubah. Dalam benak mereka, saat berbuka adalah saat “balas dendam” atas
segala keterkekangan yang melilit mereka sepanjang + 12 jam sebelumnya,
tingkah mereka tak ubahnya anak berusia 8-10 tahun yang baru belajar puasa
kemarin sore.

4. Berpuasa tapi juga melakukan ma’siat

Asal makna berpuasa bermakna menahan diri dari segala aktifitas, dalam
Islam, ibadah puasa membatasi kita bukan hanya dari aktifitas yang
diharamkan di luar Ramadhan, bahkan puasa Ramadhan juga membatasi kita
dari hal-hal yang halal di luar Ramadhan, seperti; Makan, minum,
berhubungan suami-istri di siang hari.
Kesimpulannya, jika yang halal saja kita dibatasi, sudah barang tentu hal
yang haram, jelas lebih dilarang.
Sehingga dengan masa training selama sebulan ini akan mendidik kita
menahan pandangan liar kita, menahan lisan yang tak jarang lepas kontrol,
dsb.
“Barang siapa yang belum mampu meninggalkan perkataan dosa (dusta, ghibah,
namimah dll.) dan perbuatan dosa, maka Allah tak membutuhkan puasanya
(pahala puasanya tertolak).

5. Sibuk makan sahur sehingga melalaikan shalat shubuh, sibuk berbuka
sehingga melupakan shalat maghrib

Para pelaku poin ini biasanya derivasi dari pelaku poin 3, mengapa ? Sebab
cara pandang mereka terhadap puasa tak lebih dari ; “Agar badan saya tetap
fit dan kuat selama puasa, maka saya harus makan banyak, minum banyak,
tidur banyak sehingga saya tak loyo”. Kecenderungan terhadap hak-hak badan
yang over (berlebihan).

6. Masih tidak merasa malu membuka aurat (khusus wanita muslimah)

Sebenarnya momen Ramadhan bila dijalani dengan segala kerendahan hati,
akan mampu menyingkap hijab ketinggian hati dan kesombongan sehingga
seorang Muslimah akan mampu menerima segala tuntunan dan tuntutan agama
ini dengan hati yang lapang. Menutup aurat, misalnya, akan lebih mudah
direalisasi ketimbang di bulan selain Ramadhan. Mari kita hindari
sifat-sifat nifaq yang pada akhir-akhir ini sangat diumbar dan dianggap
sah, Ramadhan serba tertutup, saat lepas Ramadhan, lepas pula jilbabnya,
inilah sebuah contoh pemahaman agama yang parsial (setengah-setengah),
tidak utuh.

7. Menghabiskan waktu siang hari puasa dengan tidur berlebihan

Barangkali ini adalah akibat dari pemahaman yang kurang tepat dari sebuah
hadits Rasul yang berbunyi “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”
Memang selintas prilaku tidur di siang hari adalah sah dengan pedoman
hadits diatas, namun tidur yang bagaimana yang dimaksud oleh hadits
diatas? Tentu bukan sekedar tidur yang ditujukan untuk sekedar
menghabiskan waktu, menunggu waktu ifthar (berbuka) atau sekedar
bermalas-malasan, sehingga tak heran bila sebagian -besar- umat ini
bermental loyo saat berpuasa Ramadhan.
Lebih tepat bila hadits diatas difahami dengan; Aktifitas tidur ditengah
puasa yang berpahala ibadah adalah bila ;
Tidur proporsional tersebut adalah akibat dari letih dan payahnya fisik
kita setelah beraktifitas; Mencari rezeki yang halal, beribadah secara
khusyu’ dsb. T
idur proporsional tersebut diniatkan untuk persiapan qiyamullail
(menghidupkan saat malam hari dengan ibadah) . Tidur itu diniatkan untuk
menghindari aktifitas yang –bila tidak tidur- dikhawatirkan akan melanggar
rambu-rambu ibadah Ramadhan, semisal ghibah (menggunjing), menonton
acara-acara yang tidak bermanfaat, jalan-jalan untuk cuci mata dsb.
Pemahaman hadits diatas nyaris sama dengan pemahaman hadits yang
menyatakan bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada minyak
misk (wangi) disisi Allah, bila difahami selintas maka akan menghasilkan
pengamalan hadits yang tidak proporsional, seseorang akan meninggalkan
aktifitas gosok gigi dan kebersihan mulutnya sepanjang 29 hari karena
ingin tercium bau wangi dari mulutnya, faktanya bau mulut orang yang
berpuasa tetap saja akan tercium kurang sedap karena faktor-faktor
alamiyah, adapun bau harum tersebut adalah benar adanya secara maknawi
tetapi bukan secara lahiriyah, secara fiqh pun, bersiwak atau gosok gigi
saat puasa adalah mubah (diperbolehkan)

8. Meninggalkan shalat tarwih tanpa udzur/halangan

Benar bahwa shalat tarawih adalah sunnah tetapi bila dikaji secara lebih
seksama niscaya kita akan dapatkan bahwa berpuasa Ramadhan minus shalat
tarawih adalah suatu hal yang disayangkan, mengingat amalan sunnah di
bulan ini diganjar sama dengan amalan wajib.

9. Masih sering meninggalkan shalat fardhu 5 waktu secara berjama’ah
tanpa udzur/halangan ( terutama untuk laki-laki muslim )

Hukum shalat fardhu secara berjama’ah di masjid di kalangan para fuqaha’
adalah fardhu kifayah, bahkan ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah
fardhu ‘ain, berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang mengisahkan bahwa
beliau rasanya ingin membakar rumah kaum Muslimin yang tidak shalat
berjama’ah di masjid, sebagai sebuah ungkapan atas kekecewaan beliau yang
dalam atas kengganan umatnya pergi ke masjid.

10. Bersemangat dan sibuk beribadah sunnah selama Ramadhan tetapi
setelah Ramadhan berlalu, shalat fardhu lima waktu masih tetap saja
dilalaikanIni pun contoh dari orang yang tertipu dengan Ramadhan, hanya
sedikit lebih berat dibanding poin-poin diatas. Karena mereka Hanya
beribadah di bulan Ramadhan, itupun yang sunnah-sunnah saja, semisal
shalat tarawih, dan setelah Ramadhan berlalu, berlalu pula ibadah shalat
fardhunya.

11. Semakin jarang membaca Al Qur’an dan maknanya
12. Semakin jarang bershadaqah
13. Tidak termotivasi untuk banyak berbuat kebajikan
14. Tidak memiliki keinginan di hatinya untuk memburu malam Lailatul
Qadar
Poin nomor 8, 10, 11, 12 dan 13 secara umum, adalah indikasi-indikasi
kecilnya ilmu, minat dan apresiasi yang dimiliki oleh seseorang terhadap
bulan Ramadhan, karena semakin besar perhatian dan apresiasi seseorang
kepada Ramadhan, maka sebesar itu pula ibadah yang dijalankannya selama
Ramadhan.
15. Biaya belanja & pengeluaran ( konsumtif ) selama bulan Ramadhan
lebih besar & lebih tinggi daripada pengeluaran di luar bulan Ramadan
(kecuali bila biaya pengeluaran itu untuk shadaqah)
16. Lebih menyibukkan diri dengan belanja baju baru, camilan &
masak-memasak untuk keperluan hari raya pada 10 hari terakhir bulan
Ramadhan
17. Lebih sibuk memikirkan persiapan hari raya daripada amalan puasa
Mereka lebih sibuk apa yang dipakai di hari raya dibanding memikirkan
apakah puasanya pada tahun ini diterima oleh Allah Ta’aala atau tidak
Orang-orang yang biasanya mengalami poin-poin nomor 14, 15 dan 16 adalah
orang-orang yang tertipu oleh “fatamorgana Ramadhan”, betapa tidak ? Pada
hari-hari puncak Ramadhan, mereka malah menyibukkan diri mereka dan
keluarganya dengan belanja ini-itu, substansi puasa yang bermakna menahan
diri, justru membongkar jati diri mereka yang sebenarnya, pribadi-pribadi
“produk Ramadhan” yang nampak begitu konsumtif, memborong apa saja yang
mereka mampu beli. Tak terasa ratusan ribu hingga jutaan rupiah mengalir
begitu saja, padahal di luar Ramadhan, belum tentu mereka lakukan. Semoga
sentilan yang menyatakan bahwa orang Islam tidak konsisten dengan
agamanya, karena di bulan Ramadhan yang seharusnya bersemangat menahan
diri dan berbagi, ternyata malah memupuk semangat konsumerisme dan
cenderung boros, dapat menggugah kita dari “fatamorgana Ramadhan”. Semoga
Allah menganugerahi kita dengan rahmat-Nya, sehingga mampu menghindari
kesalahan-kesalahan yang kerap kali menghinggapi mayoritas umat ini, amin.
Hanya dengan keikhlasan, perenungan dan napak tilas Rasul, insya Allah
kita mampu meng-up grade (naik kelas) puasa kita, wallaahu a’lam bis
shawaab.
(Ahmad Rizal, Alumni STAIL, dan KMI Gontor-Ponorogo/Hidayatullah)